Menelisik Jejak Sang Bima
![]() |
Penulis Dan Keluarga ketika berwisata di Wadu Pa'a tahun 2017 |
Untuk mengetahui pendirian kerajaan Bima dan
perkembangannya tidak bisa dilepaskan
dari keberadaan kerajaan hindu di Jawa pada Abad VIII hingga runtuhnya Majapahit. Sejarahwan M.
Hilir Ismail memprediksi, kerajaan Bima berdiri antara abad IX, Abad X dan Abad
XI bersamaan dengan zaman kejayaan Erlangga diJawa Timur. Kerajaan-kerajaan
hindu di Jawa yang berkembang saat itu adalah Medang, Kahuripan, Singosari,
Kediri dan Majapahit. Helius Syamsuddin memperkirakan
kerajaan Bima lebih tua yaitu pada abad ke-8 bersamaan dengan kerajaan Matarm
Hindu di Jawa, atau pada abad ke-11 bersamaan dengan kerajaan Airlangga di
Jawa.
Kerajaan Medang adalah kerajaan
Mataram Hindu yang berdiri di Jawa
Tengah pada Abad VIII dan pindah di Jawa Timur pada Abad X. Para raja kerajaan
ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di
Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak Candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha.
Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11. Pada umumnya para
sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang,
yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah,
serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.
Istilah Wangsa Sanjaya merujuk
pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu
aliran Siwa.. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan
saingannya, Kerajaan Sriwijaya merupakan
negara maritim. Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya
adalah Hindu aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan
berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari
Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan
penuh toleransi.
Meskipun terkenal sebagai
kerajaan Agraris, Medang juga melakukan
perdagangan dan pelayaran ke wilayah Nusantara bagian Timur. Memang tidak ada
perjanjian tertulis antara Sriwijaya dan Medang dalam hal perdagangan dan
maritim. Dua kerajaan itu memiliki kesepakatan secara lisan untuk melakukan
ekspansi. Sriwijaya di wilayah Barat, sedangkan Medang di wilayah Timur.
Situs Wadu Pa’a memberikan keterangan, bahwa orang-orang dari
kerajaan Medang sampai juga di Bima pada masa itu. Hal itu tertera jelas pada
Candrasangkala pada salah satu prasasti yang berbunyi Saka Waisaka
Prunamasidi atau tahun 631 Caka yang
kemudian disesuaikan dengan tahun 709 Masehi. Candi Tebing Wadu Paa
diperkirakan merupakan tempat peribadatan aliran Budha atau aliran Budha dan
Siwa. Hal itu diperkuat dengan adanya relief Ganesha, Mahaguru, Lingga-Yoni,
Bumi Sparsa Muda (Relief budha),
termasuk stupa seperti di Goa Gajah Bali dan Candi Borobudur.
Dari gambaran Reliaf dan isi
Candi Wadu Paa ( Batu Pahat), diduga kuat bahwa orang-orang dari kerajaan
Medanglah yang membangun Candi tebing
ini. Meskipun Sanjaya mendirikan Kerajaan Medang pada tahun 732 Masehi. Namun
antara pembangunan Wadu Pa’a dengan Pendirian Medang masih dalam lingkup
Abad VIII. Pada masa itu Bima dengan
pelabuhan alamnya yang indah, tenang dan damai merupakan tempat persinggahan
yang cukup menarik bagi para pelaut dan pedagang. Kata “ Singgah “ pada masa
itu sesungguhnya tidak sama dengan singgah pada masa kini yang hanya dalam
waktu yang singkat. Singgah pada masa itu dengan tehnologi pelayaran yang hanya
mengandalkan arah angin dan musim bisa berlangsung dalam waktu berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun. Selama persinggahan
itu, tentu telah terjadi akulturasi budaya antara para Ncuhi dan masyarakat
Bima dengan kaum pendatang. Pernikahan,
hubungan kekerabatan diperkirakan telah terjalin pada masa itu. Hal itu
diperkuat keberadaan Wadu Pa’a yang terlindung dari angin musim dan menjadi
tempat peristirahatan yang teduh. Didukung pula dengan adanya Amarta ( Mata Air
Kehidupan) yang ada di tengah laut di sekitar Wadu Pa’a.
Wadu Pa’a adalah penghubung mata
rantai Sejarah antara Jawa dan Bima. Orang-orang di kerajaan Medang adalah
penganut Agama Hindu Syiwa. Relief dan Stupa di Wadu Pa’a juga beraliran Hindu
Sywa. Nama-nama, gelar, julukan maupun panggilan kepada orang-orang di kerajaan
itu adalah nama-nama yang ada dalam Epik Mahabarata tertuama pandawa lima,
Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Raja Sanjaya sendiri juga bergelar
Bratasena. Erlangga dalam kitab Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa juga bergelar
Arjuna. Kakawin Arjunawiwaha
ditulis antara tahun 1028-1035 M
oleh Mpu Kanwa dipersembahkan untuk Raja Erlangga dari kerajaan Medang Kamulan(Kahuripan),
menantu Raja Dharmawangsa.
Raja dan masyarakat Medang
adalah pengagun Pandawa Lima, Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Dalam
kisah pewayangan, karakter Bima memiliki sifat dan perwatakan yang gagah
berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur.Ia juga memiliki sifat kasar dan
menakutkan bagi musuh, walaupun sebenarnya memiliki hati yang lembut, setia
pada satu sikap, tidak suka berbasa basi dan tak pernah bersikap mendua serta
tidak pernah menjilat ludahnya sendiri.
Berkaitan
Dengan Sang Bima, Bo menulis “ Ncuhi Dara dan Ncuhi Padolo menyampaikan
Keputusan musyawarah pada saat Sang Bima sedang memahat Wadu Pa’a”. Tidak
ada tanda-tanda atau bukti bahwa massyarakat Ncuhi sebelumnya telah mengenal
agama Hindu. Maka pendirian Wadu Pa’a dilakukan oleh Sang Bima yang beragama
Hindu Siwaistis.Patut diduga ia sedang memimpin sebuah ekspedisi yang singgah
di pulau Satonda kemudian tiba di Asa Kota Teluk Bima. Sang Bima menerima
permintaan Ncuhi Dara untuk menjadi Raja atas wilayah kekuasaan para Ncuhi
secara De Jure. Namun Sang Bima menyerahkannya kembali kepada Ncuhi Dara untuk
memerintah atas namanya ( De Facto). Ia berpesan bahwa dikelak kemudian hari
akan datang anak keturunannya untuk memerintah. Kemudian Sang Bima melanjutkan
ekspedisinya ke wilayah timur.
Nama
Bima memang ada dalam Kitab Mahabarata yang merupakan keluarga Pandawa Lima.
Namun yang merintis berdirinya kerajaan Bima adalah orang yang diperkirakan
berasal dari kerajaan Medang yang bergelar, berjulukan, atau dipanggil atau
disebut Sang Bima. Hanya saja BO tidak merinci siapa nama orang yang bergelar
Sang Bima itu. Penalaran ini tentu didasari oleh keterkaitan antara Medang dan
Candi Tebing Wadu Paa, serta keyakinan/agama masyarakat Medang.Kahuripan hingga
Sangosari dan Kediri pada abad VIII hingga XI Masehi.
H.Abdullah
Tayib, BA menulis, cerita Pewayangan Jawa yang juga
tercatat dalam Kitab BO tersebut dapat dipahami sebagai berikut :
1. Sudah menjadi tradisi yang universal
untuk melegitimasi keturunan seseorang tokoh penguasa baru atas suatu daerah.
2. Meyakinkan Rakyat bahwa penguasa
bukan berasal dari orang-orang kebanyakan, melainkan ia adalah salah seorang
penjelmaan para Dewa di Bumi yang ditugaskan untuk memerintah dan harus
dipatuhi oleh rakyat. ( Lihat Kitab Pararaton).
3. Sang Bima seorang tokoh bangsawan
Jawa yang diangkat menjadi Raja Bima adalah seseorang yang memiliki kesaktian,
keperkasaan dan kebijaksanaan serta memiliki sikap/watak yang keras yang
disejajarkan dengan Sang Bima dalam Epos Mahabarata.(
Sejarah Bima Dana Mbojo hal, 55)
Untuk mengetahui Siapa Sang Bima dapat dilacak dari
garis Geneologi dan Rantai Transmisi Indra Zamrut dan Indra Komala.
Methodoligis bahwa kita tidak hanya mempelajari dan mengenalisa serentetan
kejadian serta deretan angka tahun sejarah. Kita diharuskan mencari hubungan
dan keterkaitannya antara satu dengan lainnya bila memang ada keterkaitannya.
BO mencatat bahwa Indra Zamrut dan Indra Komala datang di Bima pada tahun 823 H
= 1420 Masehi. Tahun kedatangan tersebut sesuai dengan catatan tahun perang
PAREGREG di Majapahit.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan :
1.
Sang Bima bukanlah Mitos, tapi Sang Bima
adalah orang/Bangsawan Jawa yang bergelar Bima yang menjadi perintis berdirinya
kerajaan Bima. Adapun nama-nama asal-usul Sang Bima mulai dari Jan Wa Man Jan,
Sang Yang tunggal, Batara Guru, Batara Brama, Batara Manis, Batara Indra
Plasar, Maharaja Batara Panggal Pandita, Bagawan Biyasa, Maharaja Pandu
Dewanata itu sebagaimana uraian di atas adalah sebuah legitimasi dan pengklaiman
politik, sosial dan budaya bahwa mereka adalah keturunan dari langit dan bukan
manusia sembarangan.
2.
Hal yang sama juga pada keturunan Indra Zamrut
yang menjadi Raja Bima selanjutnya seperti Batara Indra Bima, Batara Sang Luka,
Batara Bima , Maharaja Indra Tarati, hingga Maharaja Indra Seri. Nama-nama ini
sebenarnya bukan nama sebenarnya, tapi nama gelar atau julukan. Karena istilah
Batara itu hanya ada dalam Pewayangan. Nama-nama mitos Mitos Hindu mulai hilang
sejak masa pemerintahan Manggampo Jawa, Ma Waa Paju Longge, Bilmana, Manggampo
Donggo, Ma Waa Ndapa, hingga Mantau Asi
Sawo. Nama asli dan nama gelar itu mulai muncul pada masa Raja Salisi yang
bergelar Mantau Asi Peka. Menurut Saya, nama-nama di atas adalah nama gelar,
bukan nama aslinya.
3.
Sang
Bima adalah perintis berdirinya Kerajaan Bima. Jika merujuk pada tahun pembuatan Wadu Pa’a 709 Masehi, maka
orang yang bergelar Sang Bima ini telah menjalin hubungan dengan para Ncuhi dan
masyarakat Bima, bahkan telah terjadi pernikahan campuran. Sang Bima
beristrikan Puteri Tasi Sari Naga, anak seorang Ncuhi di sekitar wilayah
Tambora. Puteri Tasi Sari Naga pun bukanlah nama sebenarnya. Dia adalah julukan
dari seorang penguasa local yang kuat sehingga disebuat Tasi Sari Naga.
4.
Penulisan
Pararaton dan Babad Tanah Jawi terdapat cara yang hampir sama dengan penulisan
Kitab BO. Seseorang atau kelompok orang selalu dihubungkan dengan cerita gaib
atau cerita dongeng. Oleh karena itu lah, para sejarahwan bersikap selektif
untuk memanfaatkan isinya guna dijadikan sumber dan kajian sejarah.
Penulis : Alan Malingi
Sumber
Bacaan :
1. Henri Chmabert Loir & Siti
Maryam Salahuddin, BO
Sangaji Kai
2. Henri Chmabert Loir ,Kerajaan Bima Dalam Sastra Dan
Sejarah
3. M.Hilir Ismail, Peranan Kesultanan Bima Dalam
Perjalanan Sejarah Nusantara
4. H. Abdullah Tayib, BA Sejarah Bima Dana Mbojo
5. Helius Syamsuddin, Makalah
Seminar Penetapan Hari Jadi Bima Tahun 1995.
Post a Comment