Meneropong Masa Depan Mbojo Melalui Budaya
Penari Sanggar La Diha Wawo |
Berbicara
Budaya, maka kita berbicara tentang seluruh daya cipta, rasa dan karsa manusia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Jadi, Budaya adalah suatu pola
hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek
budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini
tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Selama ini, kita telah salah mempersepsikan Budaya dan
Kebudayaan itu hanya dalam bentuk seni budaya, kesenian tradisional dan tradisi
masyarakat. Mungkin karena itulah,
pembangunan Budaya masih menjadi “ Anak
Tiri “ dalam proses dan akselerasi pembangunan baik dalam skala nasional
maupun local. Padahal jika kita simak
dari uarian di atas, masalah budaya ini sangat kompleks baik fisik maupun non
fisik. Tidak dapat dipungkiri, kemajuan Eropa saat ini adalah karena mereka mempelajari
kembali bagaimana peradaban Yunani dan Romawi. Nah, kenapa Kita tidak melakukan
“ Renaissance “ terhadap warisan keemasan
Kesultanan Mbojo yang telah berlangsung lebih dari 3 Abad dan telah
mengantarkan Kesultanan Mbojo sebagai salah satu kesultanan tersohor di
Nusantara Timur ?
Ntumbu Di Lengge Wawo |
Topik
“ Benturan Kebudayaan, Meneropong Masa
Depan Mbojo Melalui Budaya “ yang kita diskusikan hari ini sungguh sangat tepat dan bernilai
strategis di tengah ketidakpedulian kita semua terhadap upaya-upaya pelestarian
Sejarah dan Budaya Mbojo yang merupakan hasil daya cipta, rasa dan karsa para
leluhur Dana Mbojo sejak berabad-abad lamanya yang dimulai pada Zaman Ncuhi,
Zaman Kerajaan, hingga zaman Kesultanan. Tiap-tiap zaman dalam pembabakan
sejarah Dana Mbojo sesungguhnya telah mewariskan tatanan nilai dan peradaban
yang luhur dan agung sebagai warisan tak ternilai dari generasi ke generasi. Masa
Ncuhi, telah mewariskan sisitim kekerabatan dan pola hidup kemasyarakatan
dengan Falsafah hidup Maja Laboh Dahu,Nggahi Rawi Pahu, Karawi Kaboju, Kese
Tahopu Dou, Dua Tahopu Tolu, peralatan
hidup, kepercayaan, tata nilai, arsitektur, bahasa dan seni budaya yang masih
dapat kita lihat dan nikmati sampai saat ini meskipun puing-puing kejayaan itu hanya sedikit saja yang
masih tersisa, seperti beberapa situs yang tersebar di berbagai pelosok Mbojo, bahkan
Uma Lengge pun dalam prediksi saya justru dibangun pada masa Ncuhi ini. Hal ini
dapat dianalisis dari adanya ptototipe Uma Lengge yang tersebar hanya di Donggo
Ipa dan Donggo Ele setelah terjadi Penetrasi budaya pada masa kerajaan dan
kesultanan sejak awal abad ke 14 hingga Tahun 1951 Masehi.
![]() |
Kampung di Bima pada masa lalu |
![]() |
Tarian Kalero Donggo |
Banyak sekali kreasi seni budaya Mbojo yang lahir pada masa ini antara lain berbagai tarian klasik Istana seperti Tari Lenggo Mbojo, Lengsara, Karaenta, Katubu, Rombo To’i, serta tarian-tarian rakyat seperti Gentao, Hadrah Rebana dan lain-lain. Salah satu perayaan upacara adat yang spektakuler hingga saat ini adalah Upacara Adat Hanta UA PUA. Warisan seni budaya dan tradisi ini terus dilanjutkan dan dikembangkan oleh para sultan sesudahnya sampai pada masa Pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin yang wafat pada tahun 1951 M dan bahkan sampai sekarang.
Me-Renaissance(Gerakan Kembali) Budaya Mbojo Untuk Masa Depan
Meneropong
Masa Depan Mbojo melalui pembangunan Budaya dalam arti luas, maka kita harus
kembali mempelajari kearifan masa silam, keluguan peradaban dan tradisi positif
yang telah dibangun oleh para pendahulu Dana Mbojo, para sultan, pejabat
kerajaan, Gelarang-gelarang, para Lebe dan seniman Mbojo masa silam untuk kita terapkan dalam konteks kekinian
sebagai dasar pijakan untuk masa depan.
Tentu optimisme itu tetap ada, karena pembangunan tanpa dilandasi nilai
dan budaya, akan menjadi fatamorgana. Untuk itu, saya mengistilahkan dengan
gerakan dan semangat “ Renaissance “ terhadap nilai-nilai budaya Mbojo yang adi
luhung itu. Jika hari
ini kita berbicara tentang program Membumikan Alqur’an, Magrib Mengaji, dan
Bima Berzakat. Kenapa kita tidak kembali belajar kepada kebijakan “ brilliant”
dari para sultan Mbojo terdahulu dengan menempatkan pembangunan mental
spiritual sebagai pilar pembangunan wilayahnya ?. Pada masa lalu, para Da’I dan
guru Ngaji, imam dan marbot diberikan tanah jaminan dengan tanah-tanah kelas
satu yang dapat dipanen 3 sampai 4 kali setahun. Sehingga dengan tanah jaminan
yang cukup besar itu para petugas agama selalu terfokus untuk membina dan
mendidik generasi Qur’ani. Pada masa itu, magrib betul-betul dimanfaatkan untuk
membaca Alqur’an. Buah dari Kebijakan
seperti itu, lahirlah Ulama-Ulama besar, guru-guru ngaji ternama, Qori dan
Qoari’ah terbaik hingga ke level internasional seperti Kiyai Yusuf Al Bimawi,
H. Abubakar Husen, H. Ramli Ahmad dan sederetan ulama Fasih lainnya. Sehingga tidaklah heran jika Almarhum Prof.
HAMKA menjuluki kesultanan Mbojo dengan Serambi Mekkah kedua setelah ACEH. (
HAMKA, Pokok-Pokok Pikiran Buya HAMKA, Suara Pembaharuan). Dalam konteks hari
ini, tinggal bagaimana political Will dari penentu kebijakan untuk meningkatkan
lagi insentif guru ngaji, para Da’i maupun petugas-petugas agama di setiap
dusun dan desa disertai pengawasan melekat terhadap keberadaan dan aktifitas
1000 TPQ yang telah dibentuk.
![]() |
Gotong Royong mengangkat rumah |
2. Para
pelajar yang berprestasi diberikan “ Bea
Siswa “ untuk menimba ilmu di luar negeri seperti di Jawa, Sulawesi bahkan
di timur tengah sehingga di Makkah ada tanah wakaf dari Kesultanan Mbojo. Di
beberapa daerah Asrama-asrama Mahasiswa Mbojo dibangun terutama pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin. Demikian pula halnya dengan Seni
Budaya Tradisional berkembang pesat dengan tanah-tanah jaminan yang
dialokasikan untuk seniman dan budayawan dalam rangka upaya pelestarian seni
dan budaya. Alhamdulillah Pemerintah Kabupaten Bima memang telah menyiapkan
alokasi dana untuk Bea Siswa bagi pelajar dan santri ke luar daerah. Tapi untuk
seniman tradisional sejauh ini masih
belum memadai, karena masih merupakan kebijakan dalam bentuk bantuan spontan
dan stimulant, belum benar-benar tertuang dalam dokumen kebijakan angggaran Pemerintah
Daerah.
3. Budaya
Karawi Kaboju(Gotong Royong) merupakan Fu’u Rawi(Inti kegiatan) sejak zaman
Ncuhi perlu terus diwariskan. Setiap ada hajatan besar maupun kecil selalu
dilaksanakan dengan gotong royong dengan satu prinsip hidup “ Kese Tahopu Dua,
Dua Tahopu Tolu “ yang menggambarkan betapa kebersamaan itu menjadi pilar
kehidupan social budaya pada masa itu. Saat ini, nilai kegotongroyongan itu
telah bergeser dengan sikap menunggu “
Proyek “ yang turun dari Pemerintah. Padahal banyak hal yang masih bisa
dilakukan dengan cara gotong royong. Kegiatan BBGRM yang tiap tahun digelorakan
dan dilaksanakan Bupati Bima selama 6 tahun terakhir sebenarnya merupakan
starting point untuk menghidupkan dan menggairahkan kembali budaya Karawi
Kaboju ini.
4.
Keteladanan pemimpin dan ketaatan masyarakat
pada masa lalu merupakan salah satu factor pendukung terciptanya keamanan dan
ketertiban di masyarakat. Meskipun tidak dapat dipungkiri adanya berbagai
perang dan pemberontakan yang terjadi. Karena konflik vertical dan Horisontal
yang terjadi pada masa lalu tidak terlepas dari trik politik Adu Domba Belanda.
Diperlukan pembentukan dan mengefektifkan lembaga-lembaga adat yang ada di
desa-desa sebagai satu wadah pelestarian budaya dan penanganan konflik. Untuk
itu, saya sarankan agar dalam proses pemilihan pemimpin Mbojo kedepan perlu
dilakukan Fit And Proper Test Ala Sultan Muhammad Salahuddin dengan penerapan “ NGGUSU WARU “. Bahwa calon pemimpin
harus memenuhi 8 Syarat /criteria dalam Nggusu Waru yaitu, Maja Labo Dahu Di Ruma Allahu Ta Ala ( Malu dan Takut Kepada
Allah), Dou Ma Bae Ade ( Orang Yang
memiliki Kapasaitas Intelektual),Dou Ma
Mbani Labo Disa ( Berani melakukan perubahan Dan Berani karena benar), Lembo Ade Labo Nae Sabar ( Lapang Dada
dan Berwibawa),Nggahi Rawi Pahu (
Menyatukan Kata dan Perbuatan), Ma Kidi
Di Woha Dou ( Bertanggungjawab di tengah komunitasnya), Dou Ma Ntau Ra Wara ( Orang yang
memiliki Kekayaan).
![]() |
Pemetaan Kesenian Makembo |
6. Saat ini kita “ Miskin “ Event Budaya. Padahal jika dihitung, Mbojo adalah daerah
di NTB ini yang paling banyak memiliki atraksi budaya. Di setiap desa memiliki
atraksi seni budaya masing-masing. Adalah tugas dan semangat kita bersama untuk
menggairahkan para seniman yang mati suri itu dengan berbagai event dan
festival budaya yang dipadukan dengan promosi obyek-obyek wisata alam, wisata
bahari, wisata sejarah, wisata ziarah yang ada di tiap wilayah kecamatan,
termasuk di kecamatan Langgudu dengan pesona Teluk Waworada yang indah, pantai
pasir putih dan pantai-pantai lainnya yang penuh daya pikat.
7. Untuk
memberikan pengetahuan Sejarah dan Budaya Mbojo, perlu diupayakan untuk
penggandaan dan penerbitan buku-buku MULOK Sejarah dan Budaya Mbojo baik untuk
kepentingan pendidikan maupun untuk perpustakaan-perpustakaan masyarakat di
seluruh pelosok Mbojo. Sebab kondisi saat ini generasi muda Mbojo sudah menjadi
orang asing di tanah tumpah darahnya sendiri. Dengan kata lain, perlu penanaman
kembali jatidiri dan karakteristik budaya Mbojo kepada generasi muda.
Penulis : Alan Malingi (Disampaikan pada Seminar Budaya di Langgudu tahun 2012
Sumber Bacaan :
1.
H. Abdullah Tayib, BA, Sejarah Bima Dana Mbojo,
Harapan Masa PGRI Jakarta;
2.
M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan
Sejarah Nusantara,Lengge Mataram 2004;
3.
Arnold,
Matthew. 1869. Culture and Anarcy New
York: Macmillan. Third edition, 1882, available online. Retrieved: 2006-06-28.
4.
Barzilai, Gad. 2003. Communities and Law:
Politics and Cultures of Legal Identities. University of Michigan Press.
5.
Cohen,
Anthony P. 1985. The Symbolic Construction of Community. Routledge: New
York,
Curriculum Vitate
Post a Comment