Iri Yang Positif
Abdul Hamid Bin Abdul Madjid adalah Perdana Menteri terakhir
di era kerajaan dan kesultanan Bima. Abdul Hamid lahir pada masa pemerintahan
Sultan Ibrahim pada tahun 1889 dan menjadi perdana menteri pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin. Sejak kecil sudah dididik dengan
ajaran agama islam dibimbing oleh ulama-ulama di lingkungannya. Abdul Hamid
hanya dua bersaudara dengan adiknya M.Hilir (Ruma Ola). Ayahnya bernama Abdul
Madjid, sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah yang dikenal
dengan Ruma Ico. (Ruma adalah nama
panggilan untuk golongan bangsawan Bima). Istrinya bernama Lala Minda Ratu
Intan, salah seorang kerabat Sultan Sumbawa. Dari pernikahan itu melahirkan sepuluh orang
anak yaitu Abdul Madjid, Siti Sarah, Ciku, Sawi, Muhammad Anwar, M.Djafar, Siti
Maryam, Hj. Hadiante, Siti Aisyah dan Arni.
Disamping dikenal dengan Bicara Mbojo atau Ruma Bicara, jabatan Abdul Hamid juga dikenal dengan Tureli Nggampo atau
jabatan yang menghimpun para Tureli (pejabat setingkat menteri). Tureli Nggampo
membawahi tujuh Tureli yang semuanya menjadi anggota Sara-Sara( Eksekutif)
yaitu Tureli Belo, Bolo, Donggo,Parado, Sakuru, woha dan Tureli Nggampo sendiri
yang menjadi ketua semua Tureli. Pada periode kepemimpinan beberapa sultan,
jabatan Ruma Bicara juga dikenal dengan istilah Wazir, seperti Wazir Ismail
pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kadim ( 1742-1773) dan Wazir Muhammad Ya’kub
( Ruma Ma Kapenta Wadu) pada masa pemerintahan Sultan Islmail dan Sultan
Abdullah. Jabatan Ruma Bicara terkadang berlangsung sampai dua generasi sultan
Bima
Pada tahun 1931 Ruma Bicara (Perdana Menteri) Abdul Hamid bersama Abdul Wahid Karim Muda tokoh Muhammadiyah kelahiran Sumatera Barat, mendirikan “Madrasyah Darul Tarbiyah”di Kota Raba. Keberadaan sekolah ini disambut positif oleh Sultan Muhammad Salahuddin, dengan memberikan bantuan berupa dana serta sarana pendidikan. Pada tahun 1934, Sultan bersama ulama dari Batavia bernama Syekh Husain Saychab mendirikan “Madrasah Darul Ulum” di Kampung Suntu Bima. Dua lembaga pendidikan Islam ini, berhasil mencetak kader Islam yang kelak menjadi tokoh-tokoh yang berani baik pada masa pergerakan maupun pada era revolusi kemerdekaan.
Ruma Bicara Abdul Hamid dan Sultan Muhammad Salahuddin sama-sama berjuang demi terus tegaknya syiar Islam dan proses pembumian Alquran di tanah Bima. Banyak ide cemerlang, gagasan cerdas dan tindakan nyata yang ditunjukkan keduanya dalam menata pemerintahan dan terus bersinarnya nilai-nilai Islam kala itu. Keduanya gencar membangun sarana ibadah, mengirim para pelajar ke luar daerah bahkan keluar negeri dengan bea siswa dan mendatangkan guru-guru dari luar Bima.
Salah satu karya monumental dari Ruma Bicara Abdul Hamid adalah masjid Baitul Hamid yang dirintis pendiriannya sejak tahun 1932 sampai saat ini masih berdiri kokoh. Masjid ini juga dikenal dengan Masjid Penaraga, karena letaknya di Kelurahan Penaraga Kota Bima, tepatnya di Jalan Soekarno–Hatta yang menjadi jalur utama di Kota Bima. Masjid ini dibangun di atas tanah seluas lebih kurang 12 are yang berada satu kompleks dengan kediaman Ruma Bicara. Saat ini kompleks kediaman itu menjadi kantor Kegium Veteran dan Dinas Kesehatan Kota Bima.
Ide pembangunan masjid tersebut dilatarbelakangi karena di wilayah Raba saat itu belum memiliki masjid, yang ada baru Langgar kecil dan surau-surau. Disamping itu, Abdul Hamid juga merasa “iri” dengan suara pengeras suara (Toa) dari gereja yang ada di wilayah Raba. Kebaktian dan ibadah yang dijalaankan oleh ummat Nasrani dan orang-orang Belanda membuatnya terpanggil juga untuk membangun rumah ibadah bagi kaum muslim di wilayah Raba. Rasa “iri” yang positif itu menimbulkan sebuah ide dan implementasi cemerlang untuk pembangunan Masjid Baitul Hamid. Sumber dana pembangunan masjid Baitul Hamid adalah dari tanah sawah Ruma Bicara di So Nggari Dompo sekitar 15 Hektar. Menurut salah seorang cucunya Dae Akang, tanah tersebut awalnya dilelang hasilnya untuk pembangunan Masjid Baitul Hamid, karena proses pembangunannya berlangsung selama tiga tahun hingga tahun 1935. Namun setelah selesai pembangunannya tanah sawah kelas satu tersebut tidak dikembalikan lagi kepada yang bersangkutan dan pada perkembangan selanjutnya dikelola oleh Yayasan Islam Bima. Abdul Hamid juga berperan dalam mengubah teks khutbah Jum’at yang sebelumnya memakai bahasa Arab dirubah ke dalam bahasa daerah dan Bahasa Indonesia agar mudah dipahami oleh Jamaah. (M.Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima dalam perjalanan sejarah nusantara, Hal 162).
Abdul Hamid termasuk tokoh yang sangat vokal dan menentang Belanda. Akibat ketegasan sikapnya itu, beliau diasingkan Belanda ke Kupang pada tahun 1935. Bersamaan dengan selesainya pembangunan masjid Baitul Hamid. Setelah Indonesia Merdeka Abdul Hamid kembali ke Bima. Baru beberapa tahun kembali ke tanah air dan kampung halaman, Sang perdana menteri itu pun tutup usia pada tahun 1957 dan dimakamkan di Bukit Nteli (Doro Nteli) berdampingan dengan makam istri dan beberapa pengikut dan keluarganya. Bukit Nteli berada di bukit sebelah utara Bukit Dana Taraha, kompleks makam Sultan Bima.
Pada tahun 1931 Ruma Bicara (Perdana Menteri) Abdul Hamid bersama Abdul Wahid Karim Muda tokoh Muhammadiyah kelahiran Sumatera Barat, mendirikan “Madrasyah Darul Tarbiyah”di Kota Raba. Keberadaan sekolah ini disambut positif oleh Sultan Muhammad Salahuddin, dengan memberikan bantuan berupa dana serta sarana pendidikan. Pada tahun 1934, Sultan bersama ulama dari Batavia bernama Syekh Husain Saychab mendirikan “Madrasah Darul Ulum” di Kampung Suntu Bima. Dua lembaga pendidikan Islam ini, berhasil mencetak kader Islam yang kelak menjadi tokoh-tokoh yang berani baik pada masa pergerakan maupun pada era revolusi kemerdekaan.
Ruma Bicara Abdul Hamid dan Sultan Muhammad Salahuddin sama-sama berjuang demi terus tegaknya syiar Islam dan proses pembumian Alquran di tanah Bima. Banyak ide cemerlang, gagasan cerdas dan tindakan nyata yang ditunjukkan keduanya dalam menata pemerintahan dan terus bersinarnya nilai-nilai Islam kala itu. Keduanya gencar membangun sarana ibadah, mengirim para pelajar ke luar daerah bahkan keluar negeri dengan bea siswa dan mendatangkan guru-guru dari luar Bima.
Salah satu karya monumental dari Ruma Bicara Abdul Hamid adalah masjid Baitul Hamid yang dirintis pendiriannya sejak tahun 1932 sampai saat ini masih berdiri kokoh. Masjid ini juga dikenal dengan Masjid Penaraga, karena letaknya di Kelurahan Penaraga Kota Bima, tepatnya di Jalan Soekarno–Hatta yang menjadi jalur utama di Kota Bima. Masjid ini dibangun di atas tanah seluas lebih kurang 12 are yang berada satu kompleks dengan kediaman Ruma Bicara. Saat ini kompleks kediaman itu menjadi kantor Kegium Veteran dan Dinas Kesehatan Kota Bima.
Ide pembangunan masjid tersebut dilatarbelakangi karena di wilayah Raba saat itu belum memiliki masjid, yang ada baru Langgar kecil dan surau-surau. Disamping itu, Abdul Hamid juga merasa “iri” dengan suara pengeras suara (Toa) dari gereja yang ada di wilayah Raba. Kebaktian dan ibadah yang dijalaankan oleh ummat Nasrani dan orang-orang Belanda membuatnya terpanggil juga untuk membangun rumah ibadah bagi kaum muslim di wilayah Raba. Rasa “iri” yang positif itu menimbulkan sebuah ide dan implementasi cemerlang untuk pembangunan Masjid Baitul Hamid. Sumber dana pembangunan masjid Baitul Hamid adalah dari tanah sawah Ruma Bicara di So Nggari Dompo sekitar 15 Hektar. Menurut salah seorang cucunya Dae Akang, tanah tersebut awalnya dilelang hasilnya untuk pembangunan Masjid Baitul Hamid, karena proses pembangunannya berlangsung selama tiga tahun hingga tahun 1935. Namun setelah selesai pembangunannya tanah sawah kelas satu tersebut tidak dikembalikan lagi kepada yang bersangkutan dan pada perkembangan selanjutnya dikelola oleh Yayasan Islam Bima. Abdul Hamid juga berperan dalam mengubah teks khutbah Jum’at yang sebelumnya memakai bahasa Arab dirubah ke dalam bahasa daerah dan Bahasa Indonesia agar mudah dipahami oleh Jamaah. (M.Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima dalam perjalanan sejarah nusantara, Hal 162).
Abdul Hamid termasuk tokoh yang sangat vokal dan menentang Belanda. Akibat ketegasan sikapnya itu, beliau diasingkan Belanda ke Kupang pada tahun 1935. Bersamaan dengan selesainya pembangunan masjid Baitul Hamid. Setelah Indonesia Merdeka Abdul Hamid kembali ke Bima. Baru beberapa tahun kembali ke tanah air dan kampung halaman, Sang perdana menteri itu pun tutup usia pada tahun 1957 dan dimakamkan di Bukit Nteli (Doro Nteli) berdampingan dengan makam istri dan beberapa pengikut dan keluarganya. Bukit Nteli berada di bukit sebelah utara Bukit Dana Taraha, kompleks makam Sultan Bima.
Penulis : Alan Malingi
(Sumber:
1. Cucu
almarhum Akang Hazairin dan salah
seorang keluarga M.Ali Hanafiah
2. M.Hilir
Ismail, Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara
Post a Comment