f Menikahkan Perahu Dengan Laut - SEJARAHBIMA.COM | Mengupas Sejarah, Budaya dan Pariwisata

Header Ads

Menikahkan Perahu Dengan Laut



Perahu Al-Fatah siap diturunkan

Perahu dengan laut adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan kebaharian di alam ini. Tidak ada perahu yang tidak melaut dan laut akan sepi dan tidak indah tanpa perahu yang berlayar melintasinya. Bagaimana perahu dan laut bisa bersatu dan tetap tentram mengarunginya ? Itulah yang menjadi titian harapan dan doa para insan yang menggantungkan hidup pada laut dan perahu. Untuk menuju hal itu, maka perlu mengawinkan perahi dengan laut agar senantiasa terhindar dari bala,bencana dan badai laut. Filosofi inilah yang menjadi dasar pembuatan dan ritual penurunkan perahu ke laut oleh warga di desa Sangiang kecamatan Wera Kabupaten Bima. Prosesi ini dikenal dengan Kalondo Lopi atau menurunkan perahu ke laut.  

Rel kayu untuk menurunkan perahu
Proses pembuatan perahu diawali dengan doa selamatan yang dipimpin para tetua dan tokoh agama setempat dengan untaian doa dan kalimat Allah SWT. Doa selamatan biasanya dilakukan pada malam hari sebelum keesokan paginya dimulai proses pembuatan perahu. Sambil melantunkan zikir “ La ilaha Illalah, Muhammadurrasulullah “ Guru Doa juga melafaskan untaian harapan melalui kalimat.H. Ahmad Abu Kola, warga desa Sangiang membacakan lafaz doanya kepada saya dalam bahasa Bima sebagai berikut :
Kanikaku ba nahu nggomi Samula labo Samola
Kancia Kacia
(Kunikahkan engkau Samula dengan Samola)
Menjadi kuat lah dan eratlah kalian )
Samula adalah perahu sedangkan Samola adalah laut. Dua nama yang berarti asal mula semua kehidupan di laut.

H.Adlan Pemilik Perahu Al-Fatah
Proses pembuatan perahu dilakukan dalam kurun waktu mencapai satu tahun. Perahu-perahu yang dibuat warga Sangiang berkapasitas ratusan Ton dan mengarungi kepulauan Nusantara hingga Papua. Pembangunan Perahu dipimpin oleh seorang Panggita atau ahli dalam pembuatan perahu. Dia sangat pintar dalam menentukan lunas perahu, bentuk, ukuran dan keseimbangan perahu. Setelah pembuatan prahu rampung, dimulailah acara Kalondo Lopi yang diawali dengan menyiapkan nasi lemang putih dan merah, sirih pinang, tembakau, pisang, kain kafan, janur kuning dan 10 ekor ayam. Perlengkapan upacara itu disebut Soji atau sesajian yang akan mengiringi prosesi Kalondo Lopi.
Ketika perahu siap untuk diturunkan dengan katrol dan dipenuhi ratusan manusia yang mengawalnya, Sang Panggita memberikan semangat dengan untaian mantra sebagai berikut :
Hela hela mbate
Ao….la hela wela
Ao kabengke mena
Ao ka hela hinti
Hinti sama kabengke mena
Lalu disambut oleh ratusan manusia yang menuntun perahu ke laut dengan yel-yel  Le le le le le.

Perahu RahmahThe Fastest
Heriyanto, salah seorang warga dan juga ABK perahu mengemukakan, bahawa kalimat mantra itu merupakan perpaduan antara Bahasa Bima dan Bugis. Mantra itu adalah pemberi  semangat kepada orang-orang yang menurunkan perahu. Kalimat Hela hela Mbate( Bukan bahasa Bima) sebagai pembuka mantra. Ao hela wela artinya mari semua (bukan bahasa Bima) sebagai penyemangat. Ao kabengke mena artinya ayo  pegang erat-erat. Ao ka hela hinti, ayo tarik semua. Hinti sama kabengke mena. Tarik sama-sama dengan kuat. Mantra itu terus diucapkan oleh Panggita berulang-ulang sampai parahu turun ke laut. “ Pada zaman dahulu ketika belum ada katrol sebagai tehnologi penarik perahu, dilakukan oleh ratusan tenaga manusia. “ Ungkap Heriyanto.
Ketika perahu sudah turun ke laut, Para tetua melantunkan doa dan harapan kepada Sang Perahu.  
Nggomi aina lao ntoi
Nggomo mbali ricu
Di Dana ro rasa
(Engkau jangan pergi lama-lama
Kembalilah cepat
Ke kampung halaman )

Kalondo Lopi Rahmah The Fastest di Pulau Sangiang 9 Oktober 2016
Di atas kemudi perahu, di bagian depan dan bagian belakang perahu digantunglah janur kuning yang diikat dengan kepala dan sayap ayam yang disembelih. Kepala dan sayap ayam jantan di bagian muka perahu, sedangkan kepala dan sayap ayam betina di bagian belakang perahu. Menurut salah seorang Warga, Ayang Saifullah, maksud yang tersirat dari pemasangan itu adalah agar putera Nabi Nuh AS yang bernama Kan’an tidak ikut naik ke Perahu. Karena itu akan mendatangkan bala dan bahaya bagi perahu. Pemasangan itu diiringi lantunan doa “ Bismillahi Majreha Wamursaha, Inna Rabbi La Gafurur Rahim ( Dengan nama Allah menjalankan perahu ini berlayar dan berlabuh, sesungguhnya tuhanku maha pemaaf lagi pengasih).

Penulis : Alan Malingi 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.