Mengenang Datuk Raja Lelo
![]() |
Makam Datuk Raja Lelo |
Seisi Istana,para ulama dan
pembesar negeri gamang. Sultan muda yang baru dilantik tidak tertarik pada
islam. Dia lebih akrab sebagai seniman dan petarung. Jiwa kesatria terus
melekat dalam diri sultan muda ini. Dia lebih senang berpetualangan dan
menciptakan kreasi seni. Datuk Di Banta dan Datuk Di Tiro yang merupakan guru
mendiang ayahnya telah pergi. Sementara penggantinya belum kunjung datang untuk
meneruskan syiar islam di paruh pertama era kesultanan Bima. Sultan itu tidak
lain adalah Abdul Khair Sirajuddin, sultan Bima kedua yang memerintah antara
tahun 1640- 1682. Tak lama berselang, Datuk
Raja Lela tiba di Bima bersama empat orang rekannya yaitu Datuk Iskandar, Datuk
Selangkota, Datuk lela, dan Datuk panjang. Kelima ulama tersebut berasal dari
Pagaruyung (Minangkabau) Sumatera Barat, Anak Cucu dari Abdurahman (Datuk Di
Banda), Abdulrahim (Datuk Di Tiro), keduanya adalah guru dari Sultan Abdul
Kahir I( Sultan Bima I ). Datuk Raja Lelo dan kawan – kawan datang ke Bima
untuk meneruskan kegiatan dakwah yang telah dirintis oleh Datuk Di Banda dan Datuk
Di Tiro, karena kedua ulama tersebut telah kembali ke Gowa guna melanjutkan
dakwah keislaman di Sulawesi selatan dan sekitarnya ( Ahmad Amin, 1971 ).
Lima ulama itu langsung
memasang strategi untuk merayu Abdul Khair Sirajuddin. Disusunlah rencana perayaan
maulid nabi Muhammad SAW di Pantai Ule. Dalam peringatan itu digelar alunan
zikir,doa dan kesenian dan Tarian Lenggo Melayu yang penarinya kaum lelaki.
Sayup-sayup terdengar suara gendang dan alunan zikir dari pelataran istana
Bima, maka berangkatlah Sultan Muda itu ke Pantai Ule menghadiri acara itu.
Sultan Muda terpukau dengan zikir dan doa -doa yang dilantukan para ulama itu.
Lalu Abdul Khair Sirajuddin
pun ingin membalas dan menjamu Datu Raja Lelo dan kawan-kawan acara itu di
Istana.” Bawakan Saya Kitab Suci Alquran, akan kusambut dengan meriah. ” Pinta
Abdul Khair kepada para ulama itu. Lalu dibuatlah acara penyampaian kitab suci
Alqur’an dair kampung melayu di Oi Ule ke Istana Bima. Acara itu pun
dipersiapkan meriah dengan usungan Uma Liga,99 tangkai bunga telur, Alquran dan
penghulu melayu, dan penari lenggo di atasnya. kemudian diikuti oleh keluarga
dan kerabat. Lalu disambutlah oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin di Istana Bima
dengan tarian lenggo mbojo yang diciptakannya yang terdiri dari para penari
perempuan. Acara inilah kemudian yang dikenal dengan Hanta UA PUA.
Untuk mengukuhkan tekad
melanjutkan syiar islam di tanah Bima, akhirnya Abdul Khair Sirajuddin
mengikrarkan sumpah di pantai Ule kepada Datuk Raja Lelo dan guru-gurunya.
sumpah itu menegaskan kesetiaannya untuk berjuang membela negaranya dan islam
sampai titik darah penghabisan. Pada tahun 1660 menetapkan upacara bernuansa
islam itu sebagai upacara Adat Resmi kesultanan bersama Ndiha Aru Raja To’I dan
Ndiha Aru Raja Na’e(Perayaan Idul Fitri dan Idul Adha).
Isi Sumpah Oi Ule
“ Hai Sekalian Hadat
Menteriku, Hai Sekalian Gelarang aku, menyaksikan perkataanku dan perjanjianku
ini dihadapan Allah Ta’ala Tuhan Yang Maha Esa dan kepada Rasulullah Penghulu
Kita Nabi Muhammad dan kepada sekalian Malaikat Allah Ta’ala, maka barangsiapa
yang merombak dan melalui perjanjian aku dengan kedua guruku itu sampai
tujuannya, itulah orang yang dimurkai Allah dan Rasulullah dan segala Malaikat,
niscaya orang itu tiadalah mendapat selamat dunia akhirat, Wallahu akhirnya
Syahiddin “ ( BO Melayu, dikutip dari Buku Peranan Kesultanan Bima Dalam
Perjalanan Sejarah Nusantara, M.Hilir Ismail).
Penulis : Alan Malingi
Post a Comment