f Perangkat Militer Kerajaan Bima - SEJARAHBIMA.COM | Mengupas Sejarah, Budaya dan Pariwisata

Header Ads

Perangkat Militer Kerajaan Bima



Kunjungan Bung Karno Ke Bima Dikawal Laskar Kesultanan

Sebagai sebuah kerajaan besar di wilayah Nusa Tenggara, Bima memiliki struktur dan sistim militer yang lengkap. Kelengkapaan angkatan perang itu telah diadopsi sejak masa Ncuhi. Hal itu terbukti dengan diakomodirnya kelompok “ Dari “ dalam struktur militer kerajaan seperti Dari Nggeko, Dari Ngoco, Dari Jara Mbojo, Dari Sari Bolo, Dari Suba Nae, Dari Suba To’i,Dari Pabise, Dari Sumpa Sape, dan Dari Sumpa Bolo.   Kelompok ini adalah sekumpulan orang-orang yang memiliki kecakapan dan talenta khusus dalam sistim kekerabatan sejak masa Ncuhi. Pengangkatan perangkat militer kerajaan dilakukan dengan mengakomodir seluruh perwakilan wilayah kerajaan secara merata sehingga di setiap lini masyarakat terdapat putera terbaik yang menjadi angkatan militer kerajaan. Perangkat Militer Kerajaan Bima terdiri dari Bumi Renda selaku Panglima, Rato Pabise (Panglima Angkatan Laut), Suba (Angkatan Darat), Jena Jara ( Komandan Pasukan Kavaleri), Bumi Nggeko (Paspampres), Dari Jara Mbojo Dan Dari Jara Bolo (Pengawal Sultan/Ajudan), Dari Sumpa Sape dan Dari Sumpa Bolo ( BIN/Intelijen), Suba Ngaji, Jara Wera, dan Jara Bura (Semacam Kopasus dan Densus), Jara Sara’u ( Pasukan khusus upacara kerajaan), Nenti Mone ( Pengamanan Dalam Istana), Mbangi (Pesuruh Istana) hingga Anangguru (Hulubalang). 
 
Bumi Renda Terakhir Di Era Kesultanan Bima

Seluruh struktur militer kerajaan Bima dipimpin oleh seorang panglima perang yang merangkap kepala kepolisian yang disebut Bumi Renda. Panglima tidak hanya memimpin perang, memberikan pertimbangan kepada Raja/sultan dan mengatur siasah perang dan damai, namun juga sebagai kepala kepolisian yang bertugas mengeluarkan panggilan dan melaksanakan putusan pengadilan kerajaan. Pada periode akhir kerajaan, Bumi Renda dijabat oleh Rato Waro Bewi yang telah berkorban hingga titik darah penghabisan membela putera Mahkota La Ka’i hingga wafat di Doro Cumpu desa Bala kecamatan Wera (Makamnya masih ada sampai sekarang ). Disamping memimpin angkatan laut, Kavaleri,  pengawal istana (paspampres), pengawal Sultan(Ajudan), Bumi Renda juga memimpin langsung “ Suba” atau pasukan angkatan darat. Suba yang berarti tombak kerajaan itu adalah pasukan terlatih yang setia pada kerajaan. Dalam Suba dikenal beberapa angkatan seperti Suba Nae yaitu prajurit-prajurit tangkas yang langsung dibawah komando Bumi Renda. Disamping itu ada juga Suba To’i yang bertugas sebagai caraka atau penyampai pesan dan teguran. Dalam Suba juga terdapat Dari Bedi,  Dari Ngoco Bumi Roka. Dari Bedi adalah kelompok pasukan Artileri  yang menguasai meriam terutama untuk penembakan Salto kehormatan. Pembelian Meriam untuk militer kerajaan Bima banyak dilakukan oleh Sultan Abdullah dan Bicara Muhammad Yacub kepada Inggris dengan sistim barter. Dari Ngoco adalah kelompok pasukan  yang bertugas sebagai kelompok  pemangkul senjata-senjata dan perlengkapan perang kerajaan.  Sedangkan Bumi Roka adalah kelompok pasukan yang bertugas membersihkan dan merawat senjata-senjata, tombak dan peralatan perang. 
 
Para Bumi Di Kesultanan Bima(Mbojoklopedia)
Di bawah Bumi Renda, terdapat armada laut yang disebut Pabise yang dipimpin oleh Rato Pabise. Dalam menjalankan tugasnya, Pabise dibantu oleh Dari Pabise yang merupakan kelompok ahli kelautan dan kemaritiman yaitu para nahkoda, pendayung dan pelaut pilihan, juru mudi kapal dan perangkat pasukan angkatan laut yang memiliki ketrampilan berenang,menyelam dan tahan terhadap berbagai rintangan di laut. Armada Laut Pabise dibentuk sejak abad ke-15 di masa Ruma Bicara Bilmana yang memerintahkan puteranya La Mbila untuk melakukan ekspansi wilayah ke kepulauan Solor dan Alor sehingga dikenal dalam sejarah sebagai La Mbila Ma Kapiri Solor (La Mbila yang menguasi Solor). Namun kejayaan armada laut Pabise harus berhenti pada masa pemerintahan Sultan Abdullah dan Wazir Muhammad Yacub (1854-1868). 

Pada saat itu, Belanda melakukan intimidasi di laut.  Belanda menuding pejuang Makassar, Bugis, Ternate, dan Tidore yang dianggap sebagai bajak laut.  Suasana di laut semakin tegang. Armada laut Bima mengalami kesulitan konsolidasi. Akhirnya Wazir Muhammad Yacub membubarkan Armada Laut Pabise agar tidak diperalat oleh Belanda. Tindakan tersebut memang sangat berdampak pada perkembangan perlawanan terhadap Belanda pada masa selanjutnya. Perwira Angkatan Laut Bima yang disebut Amaral Selatan juga terpencar dan hidup terpisah. Meski berkat adanya tanda pengenal dan kode khusus Amaral Selatan berupa Bendera Oranye dan Tawa-Tawa ( Gong Kecil) yang merupakan kode kesatuan mereka di laut yang kembali mempersatukan mereka.(M.Hilir Ismail, peran kesultanan Bima dalam perjalanan sejarah nusantara, 139). Bukti kejayaan armada laut Pabise adalah tiang Kasipahu yang masih berdiri tegak di depan Asi Mbojo saat ini.

Pasukan Berkuda Kerajaan Bima
Kerajaan Bima juga memiliki pasukan berkuda atau Kavalery yang tangguh. Abad XII Masehi, kuda asal Bima sudah tersohor di Nusantara. Para  pelaut dan pedagang dari berbagai negeri  membeli Kuda Bima untuk dijadikan tunggangan para raja, bangsawan, dan panglima perang.   Dalam Negara Kertagama disebutkan Raja-raja dan panglima perang Kerajaan Kediri, Singosari, dan Majapahit, selalu memilih Kuda Bima untuk memperkuat armada kavalerinya. Para Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia pun sering meminta dikirimi Kuda Bima, yang dinilai sebagai jenis kuda terbaik di Kepulauan Hindia Belanda. Kuda Bima dinilai sebagai sarana transportasi yang tangguh karena kuat membawa beban hasil panen, tahan cuaca panas, serta jinak. Pasukan berkuda Kerajaan Bima disebut Jena Jara. Pasukan ini juga bercabang-cabang yang diambil dari berbagai wilayah dalam kerajaan mulai dari Jena Jara Asi, Jena Jara Kapa, Bolo,Rasanae, Sape,Saturubolo,Saturubelo, Monta, Woha, Kolo,Partiga, Saturudonggo, Punta Jara Asi dan Punta Jara Kopa.( Abdullah Tayib,Ba, Sejarah Bima Dana Mbojo, 193). Kuda  mendapatkan tempat “Terhormat” dalam struktur organisasi dan perangkat kerajaan  Bima. kuda bukan saja sebagai sarana transportasi, hewan piaraan, dan sarana perang, namun merupakan symbol kebanggaan/prestise bagi setiap pejabat kerajaan, jika diibaratkan zaman sekarang, kuda identik dengan “mobil dinas” jabatan. Beberapa jabatan yang secara tegas menggunakan “ Jara” (Kuda) dalam Majelis Paruga Suba Paripurna antara lain, Bumi Jara Tolotui, Bumi Jara Mbojo, Bumi Jara Bolo, Bumi Jara Paroko Mbojo, Jena Jara Mbojo dan Jena Jara Bolo. Jabatan ini tergabung dalam Bumi Nggeko yang beranggotakan 16 orang Bumi dan Anangguru. Ada juga jabatan Dari Jara , yaitu Dari Jara Mbojo dan Dari Jara Bolo yang menjadi pengawal Sultan. Dari Jara ini adalah petugas yang mengawasi dan memelihara kuda-kuda sultan serta perlengkapannya.
 

Jabatan dalam Jena Jara lainnya adalah Bumi Sari Ntonggu dan Bumi Sari Ndora yaitu petugas khusus yang memelihara Kuda Manggila yang dikandangkan dalam pekarangan istana. Disamping itu juga mereka menjaga keamanan dan ketertiban istana. Ada juga jabatan khusus Dari Jara yang bertugas memelihara kuda sultan dan perlengkapannya. Bumi Nggeko sebagai Paspampres yang bertugas menjadi pengawal Istana melakukan penjagaan bergilir. Untuk mendukung tugas-tugasnya, Bumi Nggeko berangkotakan 16 orang Bumi dan Anangguru yaitu Bumi Jara Tolotui, Bumi Jara Mbojo, Bumi Jara Bolo, Bumi Jara Paroko Mbojo, Bumi Ndakatau, Bumi Ncandi, Bumi Sari Ntonggu, Bumi Tonggorisa, Bumi Roka, Bumi Sari Sape, Anangguru Pabise Mbojo, Anangguru Pabise Bolo, Anangguru Pabise Saturuli, Jena Jara Mbojo, Jena Jara Bolo dan Anangguru Suba. Enam Belas Bumi dan Anangguru itu mewakili wilayah- wilayah dalam kerajaan maupun seluruh angkatan militer kerajaan. Perangkat Pengawal Istana bagian dalam atau Nenti Mone beranggotakan 22 orang yang dipimpin oleh Ompu To’i sebagai kepala, Ompu Cepe sebagai Wakil Kepala, Anangguru Parewa sebagai pembantu dan Anangguru Partiga sebagai pembantu. (Abdullah Tayib, BA, Sejarah Bima Dana Mbojo, 189).

Lasykar Kesultanan Bima Dengan Tambur. (Mbojoklopedia)
Kerajaan Bima juga memiliki jaringan intelijen yang dilaksanakan oleh Dari Sumpa Sape dan Dari Sumpa Bolo. Kedua jabatan ini mewakili wilayah timur yaitu Sape dan wilayah barat yaitu Bolo. Mereka adalah orang pilihan yang diangkat sumpahnya dalam menjaga rahasia kerajaan dan tidak boleh membocorkan rahasia Negara. Disamping intelijen, kerajaan Bima memiliki pasukan khusus semacam kopasus atau densus di zaman sekarang. Pasukan itu adalah Jara Wera,Jara Bura, Jara Sara’u dan Suba Ngaji. Pasukan Jara Wera adalah pasukan berani mati yang dibentuk dari sejarah perjuangan putera Mahkota La Ka’I merebut tahta kerajaan hingga menjadi sultan Bima pertama pada tahun 1640. Pasukan Jara Wera berasal dari orang-orang Wera,terutama di Sangiang yang menyelamatkan Abdul Kahir ketika dikejar pasukan Salisi ke pulau Sangiang. Sama seperti Jara Wera, pasukan Jara Bura adalah pasukan khusus dengan dominasi kuda-kuda putih yang sigap melambangkan kesucian hati dan perjuangan membela Negara dan ajaran Islam. Pasukan Jara Sara’u adalah pasukan khsusu upacara. Sara’u adalah menari dengan hentakan kaki yang mengikuti irama Tambur. Semakin cepat tabuhan tambur, maka hentakan kaki Jara Sara’u semakin cepat. Jara Sara’u diambil dari kuda-kuda pilihan yang jinak dan terlatih dengan irama Tambur. Jara Sara’u, Jara Wera dan Jara Bura hingga saat ini  biasa tampil pada saat parade atau upacara Hanta UA PUA.   

Laskar Kesultanan Bima
Pasukan Suba Ngaji dibentuk pada tahun 1819 oleh Sultan Ismail Muhammadsyah untuk memerangi Pabelo atau bajak laut yang merajalela di perairan utara Bima dan sekitarnya. Disamping menumpas Pabelo, Suba Ngaji juga bertugas mengamankan Sultan dan keluarganya. Misi Suba Ngaji berhasil dibawah pimpinan Jeneli Parado dan Bumi Waworada. Kepala pimpinan Pabelo berhasil dipenggal. Misi Suba Ngaji terus dilanjutkan hingga masa pemerintahan Sultan Abdullah, dimana pasukan ini terus ditambah dan peralatannya dimodernisasi sesuai tuntutan zaman. Disamping pasukan di atas, ada juga kelompok Mbangi yang bertugas sebagai pesuruh di Istana. Mereka bertugas mengurus dan menyampaikan perintah Bumi Luma dan Mbangi Na’e. Para Mbangi juga melakukan penjagaan secara bergilir di Istana. Mereka dipimpin oleh Batanggampo dan Bataguru dan dibagi dalam tiga kelompok. Ada yang dibawah pimpinan Bumi Luma RasanaE, Bumi Luma Bolo dan pengawasan Ruma Bicara.  Anangguru adalah hulubalang yang juga bertugas mengawal istana. Mereka memiliki ketrampilan khusus memainkan Tandak (sere) pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Kelompok anangguru terdiri dari Anangguru Mbojo, Sape,Bolo, Mboda, Wera, Kapita, Saturudonggo, Bicarakai, dan Bumi Sumpi yang khusus meniup Sumpi sejenis senjata tiup yang panahnya terbuat dari kayu atau besi dan bisa mematikan musuh. Anangguru-Anangguru ini langsung berada di bawah komando Bumi Renda.

Kelengkapan pasukan dan armada militer kerajaan Bima menjadi bukti bahwa di masa lalu kerajaan ini memiliki struktur pemerintahan yang lengkap. Hirarki dari atas ke bawah, jalur komando dan pembagian seluruh lini pasukan telah diatur dalam satu sistim komando yang apik. Hingga masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin, perangkat militer ini masih terus bertahan meskipun ada sejumlah jenis pasukan baik yang dibentuk Belanda dan Jepang seperti KNIL dan Kempetai, maupun BKR,TKR dan Peta.
           
Penulis : Alan Malingi
Sumber : 1. Sejarah Bima Dana Mbjo, H.Abdullah Tayib, BA
                  2. Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M.Hilir Ismail 

Sumber Foto : Mbojoklopedia dan Koleksi Pribadi. 
           

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.