4 Yang Baik Bagi Orang Bima
Guna mewujudkan kebahagiaan
dan kesejahteraan hidup, manusia Mbojo pada masa lalu dibekali dengan tuntunan
Empat hal sebagai landasan hidupnya. Ketika seorang anak mencapai usia remaja
dan telah matang untuk hidup berumah tangga, para tetua memberikan wejangan
tentang Empat hal yang perlu diketahui dan dijalani dalam mengarungi bahtera
hidup menuju manusia Mbojo yang Maja Labo Dahu serta sukses dunia dan akhirat. Empat
landasan hidup itu sebagaimana diistilahkan oleh para tetua dengan “Upa Mbua
Taho “ ( Empat Yang Baik) yaitu Wei Taho, Uma Taho, Besi Taho dan Jara
Taho.
Dulu, sebelum pasangan muda
mudi dinikahkan mereka diberikan pembinaan oleh para orang tua. Lebe Na’e(
Penghulu) diundang dalam acara silaturahmi dan doa. Wejangan itu juga dihadiri
oleh kedua keluarga untuk mempererat silaturahim. Pernikahan perlu dilandasi
kedewasaan dan kematangan lahir dan batin. Membangun fondasi cinta diawali
dengan pengenalan dan silaturahim antar keluarga, bukan hanya bagi calon suami
istri. Seorang wanita baru boleh menikah apabila berumur minimal 18 tahun,
memiliki ketrampilan, dapat memasak dan memiliki kesabaran. Sesuai syariat
Islam, istri yang baik adalah yang memenuhi criteria sebagai berikut, londo dou
(keturunan), agama (beragama/islam), nara ra sara(kecantikan), nawara(berada),
dan nantau ilmu ( berilmu).
Dulu, rumah bagi Dou Mbojo (
Bima-Dompu) adalah syarat mutlak untuk disiapkan pihak laki-laki. Apabila
lelaki belum mampu menyiapkan rumah, maka lamaran bisa saja ditolak. Sebab
pernikahan adalah kemandirian dan tanggungjawab. Artinya, bila sudah menikah
maka harus memisahkan diri dengan orang tua dan tinggal di rumah sendiri. Untuk
itulah sesuai dengan landasan “ Rumahku Istanaku, Istanaku Surgaku”. Fungsi
rumah adalah sebagai tempat mufakat, ibadah dan melanjutkan kehidupan. Untuk
mufakat suami istri ada di tiga tempat yaitu di tempat tidur, di tempat makan
dan di tempat shalat. Rumah harus dihiasi dengan ibadah. Tanpa ibadah rumah
tangga akan goyah.
Jara Taho(kuda yang
baik) adalah impian setiap keluarga
Mbojo tempo dulu. Karena dulu kuda adalah satu-satunya sarana transportasi
masyarakat Bima. Meskipun saat ini sudah banyak model alat transportasi, namun
filosofi Jara Taho ini merupakan symbol bagaimana manusia Mbojo memilih
kendaraan yang baik untuk keperluan hidupnya. Bukan sekedar untuk bergaya-gaya,
tapi Jara Taho atau kendaraan yang baik haruslah mampu menyelematkan tuannya,
memberikan kenyamanan selama menggunakannnya. Tidak jarang Jara atau kendaraan
menimbulkan celaka bagi pemiliknya.
![]() |
Parang Sakti La Nggunti Rante |
Besi Taho atau Daha Taho
(senjata yang baik). Setiap lelaki Mbojo pada masa lalu tetap memiliki
Daha/senjata. Tentunya senjata tidak digunakan serampangan untuk membunuh,
tetapi untuk menjaga diri, keperluan bertani, berburu, berkebun, melaut dan
keperluan hidup sehari-hari. Untuk itulah, sejak lama orang-orang Bima
memproduksi senjata-senjata tradisional
seperti parang,tombak,keris, golok dan sejenisnya. Tapi saat ini telah
terjadi misorientasi Daha atau Besi. Daha diasah untuk disiapkan membunuh
saudara sendiri. Oleh karena itu perlu peninjauan kembali wawasan atau
re-orientasi Daha dalam kehidupan masyarakat Mbojo.
Empat landasan hidup itu sesungguhnya
telah memberi arti dan mengawal kehidupan masyarakat Bima selama berabad-abad
lamanya. Empat hal itu telah menjadi tata nilai yang saat ini mulai tergerus
diterpa perubahan zaman dan iklim kehidupan global. Empat tata nilai itu perlu
disosialisasikan kembali dalam hidup dan kehidupan masyarakat Bima saat ini.
Empat hal itu selaliu saling berkaitan erat dan tidak bisa dipisahkan satu sama
lainnya. Semoga dapat kita petik kembali hikmah dan kearifan yang telah lama tergadai, tetapi
belum sepenuhnya terjual.
Penulis : Alan Malingi
Post a Comment