Jangan Sakiti Kudanya
Ketika
H.Abdurrahim Haris (Ketua MUI Kabupaten Bima) menjadi anggota DPRD Kabupaten Bima pada tahun 1992-1997 menyempatkan
waktu berziarah ke makam KH.Hasyim As’ari. Karena
mengetahui orang Bima yang berkunjung, penjaga makam pun mempersilahkan putera
tuan guru imam itu memimpin doa. Selepas ziarah, salah seorang anggota DPRD
Kota Surabaya pun bercerita bahwa pernah suatu ketika KH.Hasyim As’ari naik
Delman. Karena Kuda agak lamban larinya, Sang Kusir memukul kuda itu. Kiyai
kharismatik itu pun bertanya.
“ Kuda darimana neh ?
“
“ Ini Kuda Bima Pak Kiyai. “ Jawab Sang Kusir.
“ Ini Kuda Bima Pak Kiyai. “ Jawab Sang Kusir.
“ Guru Saya Orang Bima, jangan sakiti kudanya. “ KH.Hasyim As’ari turun dari Delman dan menuntun kuda itu sampai ke rumahnya.
Cerita serupa juga dituturkan rekan Moh Aminullah, Ketika kiyai Kholil pulang dari Mekah beliau dijemput oleh keluarga dan banyak santri ayahandanya. Begitu banyaknya yang menyambut di pelabuhan Kamal dan untuk beliau disiapkanlah kereta terbaik dan kuda terbaik yang ada. Begitu beliau turun dari kapal dipersilahkan naik di kereta yang sudah disiapkan. Luar biasa terharunya beliau disambut banyak sanak dan santri dan disiapkan kendaraan terbaik. Ketika baru saja duduk di kereta beliau bertanya.
" bagus sekali kereta ini dan kudanya juga besar serta tampak kuat".
"Iya Kyai, kudanya ini dari Bima", kata kusir.
Begitu mendengar jawaban itu Kyai langsung turun dan minta dicarikan kendaraan lain untuk kembali ke rumah beliau tanpa memberikan alasan. Lama berselang orang baru memahami, bahwa Kyai Kholil sangat menghormati guru beliau Syeh Abdul Gani, sehingga kuda dari Bimapun segan beliau tumpangi keretanya. Paling tidak itu tutur yang langsung saya dengar dare teman pesantren di Madura
Dalam sejarah Bima, dikenal sosok ulama tersohor yaitu Abdul Gani Bima, putera dari Syeh Subur yang menulis Alquran dengan nama La Lino. Abdul Gani Al Bimawi adalah guru besar di Madrasah Haramayn Masjidil Haram di penghujung abad 19 yang menjadi guru para ulama-ulama besar di tanah Jawa. Kalimat “jangan sakiti kudanya” menunjukkan bahwa leluhur Bima pada masa silam adalah tokoh-tokoh teladan, guru dan panutan semua orang.
Penghargaan terhadap orang-orang Bima di masa lalu disebabkan ketaatannya pada Islam dan jiwa patriotisme yang tinggi serta tabah menjadi perantau-perantau ulung. Banyak orang-orang Bima yang sukses di tanah rantau,terutama pelajar dan mahasiswa yang nyambi jadi “ Guru Ngaji”. Pengalaman ini juga saya rasakan ketika jelang subuh di Bandara Soekarno Hatta, salah seorang mengobrol dengan saya. Karena mengetahui saya orang Bima, maka saya pun didaulat untuk jadi imam. “ Bapak yang dari Bima saja yang jadi imam kita. “ daulat lelaki itu. meski deg deg kan saya pun jadi imam dengan melantunkan al fatihah dan al ihlas di rakaat pertama dan wal asri di rakaat kedua.
Apa yang diuraikan di atas adalah sebuah penghargaan bahwa
orang-orang Bima dari dulu terkenal taat pada islam dan ulet. Sejak masa
kesultanan, islam telah memberi warna bagi peradaban dana Mbojo. Islam telah
menjadi bagian dari kehidupan politik,sosial dan budaya masyarakat Bima selama
berabad-abad lamanya.
Penulis : Alan Malingi
Post a Comment