Mengunjungi Uma Ncuhi
![]() |
Kunjungan Pemetaan Kesenian oleh Majelis Kebudayaan Mbojo |
Tanah Bima kaya akan budaya
dan tradisi. Salah satu warisan tak ternilai yang masih dapat disaksikan hingga
kini adalah kompleks Uma Ncuhi ( Rumah Ncuhi) dengan berbagai aktifitas
tradisional yang hidup bersama masyarakat pendudkungnya hingga kini. Uma Ncuhi
terletak di perbukitan di Dusun Sangari desa Mbawa kecamatan Donggo Bima yang
berjarak sekitar 45 KM dari Kota Bima. Akses jalan menuju situs ini cukup
bagus. Bisa juga melalu laut menyebrangi teluk Bima dengan Perahu Motor
dan disambung dengan kendaraan umum lainnya menuju desa Adat Mbawa.Uma Ncuhi
dibangun oleh Ncuhi Mbawa sejak ratusan tahun lalu sebelum zaman kerajaan dan
kesultanan. Ncuhi adalah pemimpin kharismatik tradisional atau bisa juga
dikatakan dengan kepala Suku. Dia menguasai gugusan pegunungan dan lembah di
sekitarnya. Nama para Ncuhi terilhami dari nama gugusan pegunungan yang
dikuasainya. Misalnya Ncuhi Mbawa, menguasai wilayah sekitar pegunungan Mbawa.
Ncuhi dalam bahasa Bima berasal dari kata Ncuri yang berarti cikal bakal bagi
kehidupan. Ncuhi dalam pandangan masyarakat tradisional Bima adalah sosok
pengayom, pelindung dan penjaga kehidupan.
Uma Ncuhi lazim disebut
dengan Uma Leme atau Uma Lengge. Struktur Uma Lengge berbentuk kerucut
setinggi 5-7 cm, bertiang empat dari bahan kayu, beratap alang-alang yang
sekaligus menutupi tiga perempat bagian rumah sebagai dinding dan memiliki
pintu masuk di bagian bawah. Untuk bagian atap, terdiri atas atap uma atau butu
uma yang terbuat dari daun alang alang, langit-langit atau taja uma yang
terbuat dari kayu lontar, serta lantai tempat tinggal terbuat dari kayu pohon
pinang atau kelapa. Pada bagian tiang uma juga digunakan kayu sebagai
penyangga, yang fungsinya sebagai penguat setiap tiang-tiang Uma Lengge. Uma Lengge
terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama digunakan untuk menerima tamu dan
kegiatan upacara adat. Lantai kedua berfungsi sebagai tempat tidur sekaligus
dapur. Sementara itu, lantai ketiga digunakan untuk menyimpan bahan makanan,
seperti padi dan palawija.
Mengunjungi situs ini, anda
akan disuguhi pemandangan yang menakjubkan karena Donggo yang berada
diketinggian 500 Mdpl. Di sisi timur mata anda akan terbuai memandang
keindahan teluk Bima dan kota Bima. Sementara di sisi barat, utara dan selatan
anda akan menyaksikan sawah dan tegalan masyarakat Donggo dan sekitarnya. Dari
sinilah anda dapat melihat seluruh sisi dari tanah Bima. Memasuki
kompleks Uma Ncuhi yang menjadi bagian dari Desa Adat mbawa, anda akan dapat
menyaksikan tradisi dan atraksi budaya masyarakat yang masih tetap eksis
terjaga.
Aktifitas Menenun
Memasuki areal desa Mbawa,
anda akan dapat menyaksikan aktifitas ibu-ibu dan gadis remaja setempat yang
menenun. Mereka melakukan aktifitas ini di bawah kolong rumah atau dib
alai-balai bambu depan rumahnya. Penenun merupakan tradisi turun temurun yang
ditekuni masyarakat Bima, khususnya di desa Mbawa. Motof tenun Donggo dan Bima
berbeda. Tenunan donggo didominasi corak garis-garis dan warna hitam. Sedangkan
tenunan Bima memiliki corak dan warna yang beragam. Inilah salah satu
karakteristik tenunan Donggo, mereka tetap mempertahankan warna dasar hitam
dalam tenunannya. Pewarna yang dipakaipun adalah pewarna alami dari serat dan
bunga-bunga pohon di hutan di sekeliling desanya. Tenunan Donggo dikenal dengan
nama Tembe Me e Donggo. Kelebihan sarung tenunan Donggo adalah teksturnya yang
lembut yang bisa menyesuaikan dengan cuaca dan iklim. Jika digunakan pada musim
panas/kemarau terasa dingin dan sejuk. Jika digunakan pada musim dingin/hujan
terasa hangat dan lembut.
Tata Busana Yang Anggun
Pakaian Adat Donggo dan
Sambori memiliki perbedaan corak dan cara busanadengan masyarakat Bima pada
umumnya. Salah satu perbedaan yang menonjol adalah warna pakaiannya yang serba
hitam. Kenapa Hitam ? Karena dalam tradisi lama, pakaian-pakaian tersebut
sangat melekat dengan upacara-upacara dan ritual masyarakat Donggo lama
terutama ritual kematian. Untuk perempuan dewasa menggunakan KABABU yang
terbuat dari benang katun yang disbut baju pendek (Baju Poro seperti baju adapt
Bima yang lengan pendek). Dibawahnya memakai Deko ( sejenis celana panjang
sampai di bawah lutut. Untuk perhiasan memakai kalung dan manik-manik giwang.
Untuk remaja perempuan tetap memakai Kababu atau baju lengan pendek. Namun
dalam cara memaki perhiasan agak berbeda yaitu mereka melilitkan berkali-kali
dan dibiarkan terjuntar dari leher ke dada (seperti pada foto ini ). Untuk kaum pria, mereka
mengenakan baju Mbolo Wo’o atau baju leher bundar dan berwarna hitam seperti
baju kaos. Dibawahnya mereka mengenakan sarung yang disebut Tembe Me’e Donggo
yang terbuat dari benang kapas berwarna hitam dan bergaris-garis putih. Lalu
dipinggangnya dipasangkan Salongo sejenis ikat pinggang berwarna merah atau
kuning yang berfungsi sebagai tempat untuk menyematkan pisau atau keris atau
parang. Senjatanya sekaligus asesoris adalah pisau Mone( Pisau kecil) yang
behulu panjang dengan bentuk agak menjorok. Untuk alas kaki atau sandal mereka
menggunakan Sadopa yang terbuat dari kulit binatang dan dibuat sendiri. Dalam
tradisi masyarakat Donggo, mereka juga membedakan pakaian untuk berpergian dan
pakaian sehari-hari. Mereka tetap menggunakan Sambolo dan Tembe Me’e Donggo di
bawahnya. Namun mereka menyertakan Salampe yang terbuat dari kain dan berfungsi
sebagai ikat pinggang juga.
Tarian Kalero
Tarian ini merupakan atraski
tarian tertua di tanah Bima. Kalero merupakan tarian pelepasan arwah yang
berawal dari tradisi masyarakat Donggo lama untuk menghormati dan melepas
kepergian anggota keluarga, sahabat dan kerabatnya keharibaan Yang Maha Kuasa.
Kalero adalah tarian dan nyanyian yang berisi ratapan, pujian, pengharapan dan
penghormatan terhadap arwah. Hal ini dapat dilihat dari atribut yang dikenakan
yang didominasi warna hitam, mulai dari sarung hingga baju. Gerakan melambai
lambai dan berjingkak-jingkak sebagai wujud ekspresi pelepasan terhadap arwah.
Karena mereka yakin, bahwa seseorang yang telah meninggal dunia masih tetap
hidup, tapi di alam yang lain. Alam yang abadi dan penuh dengan kedamaian. Tarian ini diiringi music
kalero yang didukung oleh dua buah gendang kecil, gong dan sarone (Serunai).
Akurasi pukulan dalam tarian ini adalah pukulan menghentak dan seakan terputus
yang diiringi alunan serunai. Pada masa lalu, Kalero diiringi oleh nyanyian
Kalero. Tapi pada saat sekarang, nyanyian itu sudah jarang diperdengarkan.
Mpisi Dan Makka
Pada masa lalu, atraksi ini
disuguhkan untuk menyambut para pembesar negeri dan tamu desa. Mpisi adalah
gerakan berputar-putar dengan mengacunkan keris terhunus sebagai symbol
patriotism dan keperkasaan. Sedangkan Makka adalah atraksi dengan sedikit
melompat sambil menghadap member hormat kepada para pembesar dan tamu desa. Dua
atraksi ini melambangkan kesediaan masyarakat untuk menyambut para tamu dan
melayaninya dengan baik, serta menyatakan bahwa mereka siap menjaga keamanan
para tamu.
Memerah Susu Kuda
Aktifitas memerah susu kuda
liar juga dapat anda lihat di rumah-rumah warga baik di desa Mbawa maupun
desa-desa di sekitarnya. Porses nya adalah Pertama kuda-kuda tersebut digiring
ke dalam suatu tempat yang sudah dipagari. Lalu ditangkap dengan cara di-lasso.
Setelah kuda tersebut tertangkap dibawa ke tempat yang terlindung. Di sana kaki
kuda bagian belakang diikat dengan tali dan tali tersebut dililitkan ke leher
kuda. Tujuannya agar si kuda tidak menyepakkan kakinya ke belakang.Kemudian
setelah semua dipastikan aman, baru dilakukan pemerahan. Tidak sembarangan
orang yang bisa melakukan ini. Hanya orang-orang yang sudah “dikenali” oleh
sang kuda yang bisa melakukannya, Jika sembarang orang melakukan, biasanya sang
kuda akan beraksi tidak tenang. Untuk bisa dikenali oleh sang kuda dibutuhkan
waktu pendekatan yang cukup lama. Biasanya tiap kuda punya pemerahnya sendiri.
Kuda betina tersebut bisa diperah susunya sampai sekitar 7-8 bulan setelah dia
melahirkan anaknya. Dalam satu hari bisa didapat sekitar 2 liter susu dari satu
kuda. Setelah diperah kuda-kuda tersebut dilepas kembali ke alam bebas. Ketika
tiba saatnya untuk diperah, kembali kuda-kuda tersebut digiring masuk ke tempat
pemerahan.
Penulis : Alan Malingi
Post a Comment