Rubu-Rubu Kenangan
Kampung Nggaro Lo terletak
di tenggara Kota Bima, tepatnya di kelurahan Penanae Kecamatan Raba Kota Bima.
Terletak dilereng bukit Penanae sekitar 3 kilometer dari kota Raba Bima.
Memasuki kampung ini pandangan kita tertuju pada bekas Rubu-Rubu( sejenis tempat
penempaan dan perapian besi-besi dan tempat mengolah besi menjadi
alat-alat pertanian atau perkakas rumah tangga seperti pacul, tombak, parang,
pisau dan bahkan keris ).Dinamakan Nggaro Lo, konon di lereng-lereng bukit dan
sekitar kampung ini dulu terdapat banyak kebun-kebun Raja. Nggaro berarti
Kebun. Lo, berarti Tuan atau Raja.
Pada sekitar tahun 60 an
sampai 70 an setiap hari dari pagi hingga petang,bahkan malam hari terdengar
dentingan besi yang ditempa silih berganti disertai asap mengepul dan debu
berterbangan hampir di setiap sudut kampung. Ada sekitar 8 sampai 10 Rubu atau
bengkel kerja yang ditemukan di kampung ini. Para pekerjanya sibuk menempa,
memukul dengan palu,memompa, menggosok, mengamplas hingga mengukur alat-alatnya
agar kelihatan lurus. Itulah aktifitas keseharian warga Nggaro lo yang telah
terwarisi turun temurun sejak masa kerajaan dan kesultanan Bima.Namun kini
suara dentingan itu sudah tidak bergema seperti dulu. Hanya tinggal 1 sampai 3
Rubu saja yang masih tetap bertahan menyapa perubahan zaman.
Menurut H. Ahmad (68
Thn), pada masa kejayaan kerajaan dan kesultanan Bima sejak abad ke-17 kampung
ini merupakan pusat produksi senjata dan peralatan perang kerajaan seperti
tombak, keris, parang, pedang dan perlengkapan lainnya seperti sepatu kuda,
kereta, baut dan mur serta perlengkapan prajurit. Hal itu juga berlangsung
hingga memasuki masa pendudukan Jepang yang digunakan untuk membuat Samurai.
Seiring perkembangan zaman
saat ini Rubu-Rubu (Penempaan Besi) telah banyak beralih fungsi. Masyarakat
tidak lagi memproduksi senjata, tapi sudah banyak yang menempa besi untuk
kebutuhan pertanian dan perkakas rumah tangga. H. Ahmad adalah salah seorang
dari generasi pandai besi yang masih tersisa. Itupun produksi alat pertanian
seperti tembilang, parang, cangkul dan bahkan sabit terus mengalami pasang
surut karena kelangkaan bahan baku dan kesulitan pemasaran. Peralatan yang
mereka buat kadang tidak bisa terjual untuk menopang eknomi keluarga. Sedangkan
harga untuk satu buah parang dan sarungnya berkisar antara Rp.15.000 hingga
Rp.25.000 per buah.itu pun laku dalam kurun waktu yang lama. Seorang pemilik
Rubu mampu memproduksi parang antara 12 hingga 20 buah perhari. Penjualan
dilakukan kepada pengecer di sekitar Nggaro Lo dengan harga murah.
Nggaro Lo sebagai salah satu
kampung bersejarah sudah selayaknya diperhatikan terutama melestarikan
Rubu-Rubu yang ada sebagai aset wisata sejarah di Kota Bima. Kunjungan dengan
menggunakan Benhur (Kendaraan Tradisional Bima) ke Nggaro lo merupakan pilihan
wisata sejarah. Karena kampung ini telah memiliki sejarah panjang sebagai
tempat pembuatan senjata, alat ringan, perkakas pertanian hingga perlengkapan
rumah tangga. Keahlian generasi Nggaro Lo mengolah besi ini sudah saatnya
disentuh oleh dunia pariwisata secara menyeluruh antara lain dengan penyiapan
paket wisata sejarah ke Kampung Pandai Besi Nggaro Lo yang disertai pembinaan
oleh Dinas terkait terutama pembuatan soevnir-soevenir untuk wisatawan. Banyak
hal yang bisa dilakukan untuk menggugah semangat para pandai besi ini untuk
berkreasi mengawal perubahan zaman sekaligus menghidupi keluarganya.
Penulis : Alan Malingi
Sumber : Ensiklopedia Bima,
Muslimin Hamzah
Post a Comment