Bak Air Penghubung Bima-Cina
![]() |
Bak Air Koleksi Museum Samparaja Bima |
Bak
Air ini merupakan salah satu koleksi Museum Samparaja Bima yang diperkirakan
telah ada di Bima sejak abad XV pada masa pemerintahan Raja Manggampo Donggo. Bak
Air dan aneka porselin berlukiskan burung yang kini telah berusia lebih dari
lima abad. Bak air ini merupakan bukti hubungan Bima dengan Cina telah terjalin
sejak lama.
Sejak
abad IV Masehi, para musafir cina Fa Hien dan Itsing telah menjelajahi
Nusntara. Berkat catatan merekalah diketahui adanya kerajaan Kutai dan
Tarumanegara serta Sriwijaya. Lalu kapan para musafir cina pertama kali
mengunjungi Bima ? Menurut Sejarahwan M. Hilir Ismail, sejak abat keVII, para
musafir dan pedagang Cina sudah ada yang mengunjungi Bima, karena pada masa
itu, Bima telah menjadi daerah transit bagi para pelaut dan pedagang dari
berbagai negeri. Hal itu juga dibuktikan dengan adanya peninggalan-peninggalan
benda-benda asal cina seperti porselin, Moko, dan Guci serta perlengkapan
upacara di pulau Sangyang, di Piyong kecamatan Sanggar serta di Kwangko Dompu.
Konon penamaan beberapa kampung di Bima dan Dompu juga dilakukan oleh para
pendatang dari negeri Tirai Bambu ini seperti Kwangko, Piyong, dan Chempi.
Hubungan
perdagangan Bima – Cina mencapai puncaknya pada abad XV pada masa pemerintahan
Raja Manggampo Donggo. Pada masa ini, Para pelaut Bima telah mampu menguasai
tehnologi pelayaran ke berbagai negeri termasuk Cina. Demikian pula sebaliknya,
para pedagang cina membeli hasil alam Bima dengan sistim BARTER (Menukar barang
dengan Barang) dengan hasil kerajinan cina seperti Poreslin dan berbagai produk
lainnya. Hasil alam Bima yang banyak diminati para pedangang cina adalah kayu
Sopan dan Damar, Madu, serta palawija. Pada masa itu, kayu Sopan asal Bima
sangat diminati di negeri lain dan bersaing dengan Kayu sejenis di negeri Syiam
(Thailand).
Tome
Pieres, salah seorang pengeliling Nusantara pada abad XV asal portugis
menceritakan bahwa sifat dagang orang-orang Bima terkenal ulet dan berani
meskipun dengan modal yang kecil. Sistim dagang orang-orang Bima kala itu
menurut Pieres adalah dengan sistim perdagangan berantai . Mereka membawa hasil
alam Bima yang dibutuhkan di Surabaya. Dari Surabaya mereka menukar dagangannya
dengan barang dan hasil bumi yang dibutuhkan di Aceh. Dari Aceh mereka menukar
dengan aneka produk aceh yang dibutuhkan di Singapura dan Sampai cina. Kemudian
mereka kembali ke Bima dengan mmbawa barang dan hasil Bumi dari negeri lain
yang dibutuhkan di Bima.
Pada
masa VOC, Kompeni Hindia Belanda selalu berusaha keras mengikat Bima dengan
perjanjian-perjanjian mengenai hak-hak monopoli dan penyerahan yang
menguntunkan, khususnya kayu Sopan dan Damar. Pada masa ini, terjadi penekanan
yang luar biasa kepada para pedangang dan Raja Bima untuk tidak melakukan
kontrak perdangangan dengan negeri-negeri lainnya. Semua hasil alam Bima
dikuasai oleh VOC. Kondisi seperti ini terus membawa kemunduran dan
ketidakberuntungan bagi perdangangan Bima.
Keadaan
itu berlanjut hingga abad XVIII, pada masa pemerintahan Sultan Abdullah dengan
penandatanganan Longe Contrac yang sangat merugikan perekonomian Bima. Belanda
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para pedagang dari luar Bima
seperti dari Makassar, Bugis, Arab dan Cina untuk berdagang di Bima.
Apalagi setelah terjadi kemelut politik di Batavia (Jakarta), terjadi eksodus
besar-besaran warga cina ke Bima dan mulai pada masa inilah orang-orang cina
sedikit demi sedikit menguasai perdagangan di Bima.
Penulis
: Alan Malingi
Sumber :
1.
S Sejarah
Islam Di Dana Mbojo- M. Hilir Ismail,
2. Hukum
Adat Undang-Undang Bandar Bima – Hj. Siti Maryam R. Salahuddin
Post a Comment