Jejak Manuru Daha
![]() |
Sebagai ilustrasi artikel ( Pulau Sabolon Manggarai ) |
Sultan Alauddin lahir
di Bima pada tahun 1121 H atau tahun 1707 M, putra pertama dari Sultan
Hasanuddin dengan permaisurinya Karaeng Bissampole. Nama lengkapnya Alauddin
Muhammad Syah. Pada tanggal 17 Sya’ban 1140 H bersamaan dengan tanggal 5 April
1727 M menikah dengan Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi, puteri Sultan Makassar
Sirajuddin. Pernikahan ini merupakan pernikahan spektakuler sepanjang sejarah
ummat manusia, dimana pulau Manggarai dijadikan mahar pernikahan. Dari
pernikahan itu dikaruniai empat orang
anak, terdiri dari seorang putra bernama Abdul Qadim dan tiga putri
masing-masing bernama Kumala Bumi Partiga (Kumala nama diri, Bumi Partiga nama
Jabatannya), Bumi Runggu (nama jabatannya) dan Siti Halimah. Pada tanggal 2
Zulhijah 1145 H bertepatan dengan tanggal 9 Mei 1731, dilantik menjadi Sultan
Bima VI oleh Majelis Hadat Kesultanan.
Pada tahun 1732 Sultan
Alauddin mengambil langkah yang mengejutkan. Sultan membantah peneyerahan tanah
Manggarai kepada kerajaan Gowa karena tidak ada dokumen yang mendukung dan
menguatkan (Braam Morris) sebagai mahar perkawinannya. ( Abdullah Tayib, BA :
218). Hal inilah yang mengakibatkan ketegangan hubungan antara Kerajaan Bima
dengan Kerajaan Gowa. Mertua dan menantu terlibat perang dan Belanda bermain di
antara keduanya.
Pasukan Gowa dikirim secara
besar-besaran ke Manggarai. Belanda menawarkan bantuan kepada Alauddin untuk
membantu menghadapi Pasukan Gowa. Pertempuran di Manggarai terus berlanjut
hingga masa pemerintahan Sultan Abdul Qadim. Lasykar Bima yang dibantu Belanda
kembali menyerang pada tahun 1762. Penyerangan ini membuahkan hasil dan
Manggarai kembali dikuasai. Namun apa yang terjadi, seperti pepatah kalah jadi
abu menang menjadi arang. Meski pada perkembangan selanjutnya hubungan
Bima-Gowa kembali mesra berkat silaturahmi dan ikatan keimanan antara dua
kerajaan yang serumpun itu intens dilakukan. Hingga pada abad ke - 20 Manggarai
masih menjadi bagian dari wilayah kesultanan Bima dan kekuasaan itu berakhir
setelah terbentuknya daerah-daerah Swapraja sesuai tuntutan proklamasi NKRI.
Patut dikenang. pada masa
pemerintahannya Mushaf alqur’an La Lino ditulis. Warisan dari abad 18 M itu
menjadi koleksi Museum Baitul Qur’an Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. La
Lino ditulis oleh Syekh Subur, seorang Imam Masjid Kesultanan Bima sekaligus
guru dari Sultan Alauddin . Selanjutnya jejak
syekh Subur dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdul Gani Bima, guru besar
di Madrasah Haramayn Masjidil Haram di penghujung abad 19.
Sultan Alaudin sangat
berjasa dalam memprakarsai penulisan Alqur’an yang menjadi salah satu dari
sekian banyak monument dan jejak kejayaan Islam di Bumi Maja Labo Dahu ini.
Pada masa pemerintahannya, perkembangan ilmu tasauf dan fiqih sangat pesat.
Banyak kitab-kitab tasauf dan fiqih juga yang dihasilkan pada masa itu. Karena
perhatian Alaudin pada Islam cukup besar dan memberikan peluang kepada ulama
untuk terus melakukan dakwah Islamiyah. Sultan Alauddin wafat dan
dimakamkan di Daha Dompu pada tahun 1742
dan diberi gelar Manuru Daha ( Sultan Yang Tinggal Di Daha)
Penulis : Alan
Malingi
Sumber :
Sejarah Bima Dana
Mbojo, Abdullah Tayib, BA
Peran Kesultanan Bima
Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M.Hilir Ismail
Kebangkitan Islam Di
Dana Mbojo, N. Hilir Ismail
Profil Raja Dan
Sultan Bima, M.Hilir Ismail & Alan Malingi
Chambert Loir Henry,
Syair Kerajaan Bima, Lembaga Pendidikan Prancis Untuk Timur Jauh (EFEO),
Jakarta 1982.
Chambert Loir Henry,
Sitti Maryam R. Muhammad Salahuddin,” Bo Sangaji Kai”, Yayasan Obor, Jakarta,
1999.
Abdul Gani Abdullah,
Badan Hukum Syara Kesultanan Bima, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Ahmad Amin, Sejarah
Bima “Sejarah Pemerintahan Serba – Serbi Kebudayaan Bima”’ (Stensil) 1971.
Muslimin Hamzah,
Ensiklopedia Bima, 2004
www.alanmalingi.wordpress.com
Post a Comment