f Jejak Sultan Abdul Qadim - SEJARAHBIMA.COM | Mengupas Sejarah, Budaya dan Pariwisata

Header Ads

Jejak Sultan Abdul Qadim

Salah satu  sudut masjid kesultanan Bima 
Abdul Qadim adalah putra  dari Sultan Alauddin, lahir di Bima pada tanggal 18 Muharam 1149 H (tahun 1729 M). Abdul Qadim mempunyai tiga saudara perempuan, masing-masing bernama Kumala Bumi Partiga, Bumi Runggu dan Siti Halimah. Setelah menikah dianugerahi empat orang anak, yaitu Abdul Hamid, Daeng Mataya, Daeng Pabeta (La Mangga) dan Ina Madu Rato Wa’i (perempuan).Abdul Qadim ditetapkan sebagai sultan Bima VII pada usia 13 tahun. Tradisi turun termurun di Kesultanan Bima, jika sultan masih kecil, maka diwalikan oleh Perdana Menteri. Ruma Bicara ( perdana menteri) kesultanan Bima kala itu adalah Abdul Ali yang merangkap jabatan sebagai Jeneli Rasanae ( setingkat camat). Rangkap jabatan yang dilakoni Abdul Ali membuatnya tidak berkonsentrasi penuh sebagai wali Sultan. Komalasyah, kakak Abdul Qadim mengambil alih kekuasaan. Komalasyah adalah istri sultan Gowa Abdul Qudus. Belanda tidak senang dengan kepemimpinan Komalasyah di Bima apalagi kedudukannya sebagai permaisuri Sultan Gowa. Maka pada tanggal 29 Juni 1751 Komalsyah diberhentikkan ( Afgejet) dari Sultanah.(Abdullah Tayib, BA : 221).Terhitung sejak tahun 1751, Sultan Abdul Qadim secara efektif memimpin kesultanan Bima dan menjadi Sultan Bima VIII hingga tahun 1773.   
  
Ada hal yang menarik selama masa kepemimpinan Abdul Qadim yaitu Program Jumat Khusyu, Hukum Adat dan pembangunan Masjid Kesultanan Bima. Program Jumat Khusyu yang saat ini gencar dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bima maupun kota Bima melalui Piagam Mbojo yang dicanangkan sejak tahun 2002, sebenarnya sudah lama diterapkan di wilayah kekuasaan kesultanan Bima. Sultan Bima VII Abdul Kadim telah membuat larangan beraktifitas pada hari Jumat, hingga kepada kapal-kapal yang berlayar meninggalkan tanah Bima. “ bahwa apabila ia berjalan pada malam hari hendaklah membawa api penerangan dan bila berjalan di tengah hari jumat,waktu bersembahyang jumat, maka apabila ditangkap atau dibunuh oleh kawal, tiadalah dapat disesalkan kepada penguasa dan negeri Bima. Demikian pula jika ia berkelahi di dalam negeri atau pasar, jangankah sudah dihunus senjatanya, belum dihunuspun ia akan disita senjatanya oleh hukum dan didenda cukup berat, yaitu sepuluh tahlil muslim besar, karena ia membuat ketakutan pada orang-orang perempuan dalam negeri atau dalam pasar “ (Siti Maryam R.Salahuddin, Undang-undang Bandar Bima Hal :  88 )
Larangan itu terus berlangsung hingga di periode akhir kesultanan Bima. Pada hari jumat seluruh aktifitas dihentikan, termasuk pelayaran. Ancamannya cukup berat yaitu didenda cukup berat dan bahkan dibunuh jika melakukan perkelahian dan berbuat onar di pasar-pasar pada hari Jumat. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga kekhusyukan ibadah pada hari jumat. Hal itulah mungkin yang masih dipegang teguh oleh para tukang-tukang dan kuli bangunan hingga saat ini. Mereka enggan untuk bekerja  dan menerima tawaran kerja pada hari jumat. Mereka beralasan untuk menghormati hari juma’t.

Menurut laporan G.R Rouffer yang melakukan penelitian sejarah dan situs-situs sejarah di Bima pada tahun 1910 memperkuat kembali bahwa masjid di kampung Sigi itu dibangun oleh Sultan Abdul Kadim. Dia menyebutkan bahwa terdapat tulisan emas di atas dasar merah kea rah utara pada serambi masjid mulai dari pintu depan sampai ke ruang dalam dengan transkirpsi sebagai berikut :

“ Hedjrat Al-Nabi Salallahu alaihiwassalam saribou seratoes 49 enam belas hari boelan Dzoelhejah tatkala itu as Sultan Abdul Kadim dan Wazir Ismail memboewat ini “


Pada laporan tersebut terdapat catatan ditulis dengan huruf Arab cara membacanya dari arah kiri ke kanan dua kali dibangun, 16 Dzulhijah = 15 April 1737 ( H.Abdullah Tayib, BA, Sejarah Bima Dana Mbojo, hal = 224). Masjid yang terletak di kampung Sigi atau di sebelah selatan lapangan Sera Suba ini adalah bukti sejarah keemasan kesultanan Bima. Pembangunan selanjutnya dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid dengan merubah atap masjid tersbut menjadi bersusun tiga yang mirip dengan masjid Kudus. Abdul Qadim wafat pada tahun 1773 M dan dimakamkan di kompleks pemakaman kesultanan Bima di sebelah barat Masjid Sultan Muhammad Salahuddin. Abdul Qadim diberi gelar Ma Wa’a Taho atau yang berperangai baik. 

Penulis : Alan Malingi

Sumber :

Sejarah Bima Dana Mbojo, Abdullah Tayib, BA
Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M.Hilir Ismail
Kebangkitan Islam Di Dana Mbojo, N. Hilir Ismail
Profil Raja Dan Sultan Bima, M.Hilir Ismail & Alan Malingi
Chambert Loir Henry, Syair Kerajaan Bima, Lembaga Pendidikan Prancis Untuk Timur Jauh (EFEO), Jakarta 1982.
Chambert Loir Henry, Sitti Maryam R. Muhammad Salahuddin,” Bo Sangaji Kai”, Yayasan Obor, Jakarta, 1999.
Abdul Gani Abdullah, Badan Hukum Syara Kesultanan Bima, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Ahmad Amin, Sejarah Bima “Sejarah Pemerintahan Serba – Serbi Kebudayaan Bima”’ (Stensil) 1971.
Muslimin Hamzah, Ensiklopedia Bima, 2004
www.alanmalingi.wordpress.com

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.