Keunikan Penobatan Raja Bima
Prosesi
pelantikan Raja dan Sultan Bima memang unik. Ada yang dilaksanakan di luar
Istana dan ada juga di dalam lingkungan Istana. Prosesi di luar Istana sangat
unik. Putera Mahkota atau Jena Teke diantarkan ke sebuah tempat yang disebut
AMBA NA’E ( Pasar Besar ) dengan berpakaian ala rakyat jelata tanpa mengenakan
Baju dan hanya memakai Sarung. Di tengah Amba Na’e itu ada seongggok tanah
seperti busut jantan yang besar yang
dikenal dengan nama Dana Ma Babuju (seonggok tanah bulat yang tinggi). Rakyat
dari berbagai pelosok datang ke Amba Na’e itu untuk menyaksikan prosesi yang
teramat unik dari pelantikan calon pemimpin Bima masa depan.
Di depan onggokan
tanah itu Putera Mahkota duduk berhadapan dengan Para Anggota Majelis Adat
(Sara Dana Mbojo). Kemudian Datang Ncuhi Dara (Kepala Suku) dan duduk di atas
onggokan tanah itu lalu disusul oleh calon Raja. Kemudian calon raja duduk
dalam pangkuan Ncuhi Dara. Secara bergiliran Anggota Majelis Adat, Para Ncuhi,
Jeneli dan Tureli, bahkan sampai Gelarang melontarkan kata-kata kasar dan caci
maki kepada calon Raja/Sultan jika tidak melaksanakan pemerintahan berdasarkan
Islam, Adat dan keinginan seluruh rakyat. Mereka mengeluarkan berbagai senjata
dan keris terhunus sebagai bentuk kritikan dan ancaman terhadap calon
raja/sultan Dengan tenang, dibawah pangkuan Ncuhi Dara Putera Mahkota tekun mengikuti prosesi itu.
Kalimat-kalimat
yang dilontarkan oleh para pejabat hadat itu antara lain : “Apabila Raja bertindak lalim, maka
senjata-senjata ini (Parang, Tombak, Kapak) yang akan merobek tubuh Tuan Raja.”
Kalimat dan kata-kata itu dilontarkan secara bergantian oleh para pejabat dan
Ncuhi.
Setelah
mendengar semua cacian dan ancaman itu, Putera Mahkota bangkit dengan
disaksikan seluruh Majelis Adat dan Rakyat. Dia berpidato dan sekaligus
memberikan maklumat kepada seluruh rakyat dengan ucapan “ Katohompa Wekiku Sura Dou Morina Labo Dana “(Tidak perduli untuk
diriku, asalkan untuk rakyat dan kehidupan
negeri). Mendengar ucapan dan sumpah setia calon Raja itu, para Majelis
Hadat, Ncuhi, Jeneli, Tureli dan Gelarang memberi hormat dan disambut gegap
gembita dan tepuk tangan seluruh rakyat yang hadir. Calon Raja meninggalkan
tempat upacara dan diarak menuju ke Istana.
Menurut H.
Abdullah Tayib, BA dalam bukunya Sejarah Bima Dana Mbojo, Upacara pelantikan di
luar Istana itu merupakan tata cara pelantikan Raja Bima yang asli. Kemudian
berkembang sesuai kemajuan dan diadakanlah di dalam Istana seperti penyematan
Atribut Raja/Sultan. Pemberian payung kerajaan yang terbuat dari Daun Lontar
berwarna kuning serta pelaksanaan pesta syukuran dan lainnya. Hal itu
berkembang seiring dengan perubahan zaman. Namun satu hal yang pasti bahwa
prosesi pelantikan Raja/Sultan Bima adalah sesuatu yang unik. Awalnya
Raja/Sultan tidak diperlakukan sebagai seorang yang disembah dan dipuja seperti Raja pada
umumnya. Disamping itu, Kerajaan/Kesultanan Bima tidak memiliki Singgasana atau
kursi kebesaran. Di Bima hanya dikenal dengan DIPI UMPU KESULTANAN ( Tikar
Kesultanan ) dimana Raja/Sultan duduk bersila bersama pejabat kerajaan dan
rakyat yang menghadap. Hal itu juga diperkuat dengan adanya pagar keliling
halaman Istana Bima yang hanya setinggi leher orang Dewasa. Hal itu dihajatkan
agar rakyat mengetahui secara terbuka apa-apa saja yang dilakukan pemimpinnya
di dalam Istana.
Penulis : Alan
Malingi
Sumber :
- Abdullah
Tayib,BA, Sejarah Bima Dana Mbojo
- M.Hilir
Ismail, Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara
- Muslimin
Hamzah, Ensiklopedia Bima.
Post a Comment