Pakaian Adat Pria Mbojo
Pada masa lalu, pria Mbojo
memiliki ragam tata busana baik busana harian, upacara adat seperti khitanan,
khatam Alqur’an, pernikahan, maupun tata busana pria sebagai pejabat di
kesultanan Bima. Khusus untuk busana pengantin laki-laki dan pejabat
kesultanan, akan diulas pada tulisan lainnya tentang pakaian adat pengantn
Mbojo maupun pakaian para pejabat kesultanan Bima.
Pakain adat harian untuk pria
Mbojo menggunakan Jas tutup putih dan destar Songket. kancingannya terbuat dari
perunggu atau perak. Bagi para bangsawan tinggi dibuat dari emas. Destar
songket atau Sambolo Songke dengan warna dasar hitam dan merah tua. Di bawahnya
kadang dengan celana hitam maupun dengan sarung. Motif dan warna sarung beragam
seperti rebung (kakando), pado waji
(jajaran genjang) yang dihiasi dengan
sulaman benang emas dan perak. Tapi sekarang, motif sarung sudah berkembang
dengan berbagai ragam motif.
M. Hilir Ismail mengemukakan,
cara pemakaian destar atau Sambolo bedasarkan status sosial pamakaiannya, maka
cara memakai (memasang) sambolo ada dua bentuk yaitu Toho
leme (memasang dalam bentuk kerucut), di bagian depannya dipasang seperti
kerucut dengan posisi miring kanan, untuk para bangsawan. Toho biasa (memasang dalam bentuk biasa), dibagian depan tidak
dipasang dalam bentuk kerucut, tetapi dipasang dalam keadaan biasa saja, dengan
posisi miring kiri, untuk rakyat biasa.
Tata
Busana Pria Mbojo pada masa lalu juga dilengkapi dengan Weri (ikat pinggang tradisional Bima), kain tenun dengan warna
dasar (dana) merah tua dan kuning
emas. Bermotif ragam hias kakando dan
pado waji, diberi hiasan benang emas
dan perak. Di kedua ujungnya diberi hias benang dalam bentuk umbai, dalam
bahasa Bima disebut “jambo”. Weri memiliki ukuran baku, sehingga
akan cocok bagi pemakainya. ukuran panjang adalah “sandupa waru” (sedelapan ditambah satu telapak tangan dengan tiga
jari). Kalau pemakaianya sudah berstaus suami, maka jambo (umbai). Weri harus turun dikiri kanan kedua paha si pemakai,
kalau masih berstatus jejaka maka jambo (umbai) hanya satu yang boleh turun
ke paha.
Pelengkap
atau aksesoris yang menonjol dalam pakaian adat harian pria Mbojo adalah pisau
yang dikenal dengan Piso mone (pisau
laki – laki). Pisau Mone adalah sejenis
senjata pusaka, yang bentuknya mirip golok, dibuat dari besi bertuah, hulunya
dibuat dari gading atau kayu kuning dengan ragam hias bunga samobo atau bunga sekuntum dan bunga satako atau bunga setangkai. Pada bagian atas hulunya dihiasi
dengan lapisan perak yang bermotif bunga samobo dan bunga satako (kele pisau). Sarungnya dilapisi
dengan lempengan perak yang bermotif bunga
samobo dan bunga satako. Piso mone merupakan
senjata pusaka sebagai symbol keperkasaan si pemakai atau si pamilik. Dipasang
pada bagian rusuk kiri, kalau memakai pakaian adat harian tidak dibenarkan
memakai keris. Kalau tidak ada piso mone,
maka tidak perlu memakai senjata pusaka yang lain.
Untuk upacara adat khitanan
atau Suna ra Ndoso, pria Mbojo memiliki tata busana sendiri yaitu mulai dari
topi yang disebut Songko wanga,
sejenis songkok yang terbuat dari lempengan tipis tanduk kerbau yang pada
pinggir dan pucuknya dihiasi dengan emas dan perak. Pada akhir – akhir ini songkok wanga sudah sangat langka. Diganti
dengan songko “bula” yaitu songkok
berbentuk bulan sabit (bula =bulan). Sama dengan bentuk songko bula untuk
penganten laki – laki yang berbeda hanya ukuran, songko bula untuk anak yang
khitan lebih kecil. Sedangkan sarung yang dipakai adalah Tembe Siki (sarung siki) dengan motif bali mpida dan tembe songke
(songket), bewarna merah atau merah tua, panjang tembe siki sampai ke lutut, memakai sarowa dondo (celana panjang)
dari satin bewarna merah atau hitam
dihiasi sulaman benang emas atau benang perak.
Perhiasan dan
aksesoris yang dipakai antara lain Kaware, Kondo Lo’I, Jima Ancu, dan Sampari
atau keris. Kaware adalah perhiasan yang dibuat
dari emas atau perak dengan motif bunga satako( Bunga Setangkai dan bunga samobo( Bunga sekuntum) berbentuk
lingkaran dan ada pula yang Nggusu Upa
(segi empat), sebagai simbol harga diri dan martabat kaum laki – laki yang
luhur lagi mulia dilambangkan dengan kawari.
Kondo lo’I adalah (Kalung Obat) simbol
anak yang sehat jasmani dan rohani. Jima
ancu (gelang lengan) dipasang pada bagian lengan. Sampari (keris), simbol keperkasaan kaum laki –laki dalam mempertahankan
harkat dan martabat keluarga dan agama.
Untuk kegiatan khatam Alqur’an
atau khata Karo’a, pria Mbojo menggunakan Memakai pakaian “kale na’e, pakaian
model timur tengah yang biasanya dipakai oleh orang dewasa yang sudah melakukan
ibadah haji. Pakaian kale na’e terdiri dari ,Songko kale (songkok kale),Baju
kuru (baju kurung) dan Jumba (jubah) berwarna putih dan hijau dan ada juga yang
merah tua dan coklat.
Penulis : Alan Malingi
Sumber :
M.Hilir Ismail dan Alan
Malingi, Mengenal Pakaian Adat Bima
Post a Comment