 |
Parang Sakti La Nggunti Rante, pasangannya diperkirakan di Srilangka (Muslimin Hamzah, Ensiklpoedia Bima) |
Dialah satu-satunya sultan
perempaun(Sultanah) dalam sejarah kesultanan Bima. Wanita ini bernama Komalasyah.
Lahir di Bima pada tanggal 27 April 1628 dengan nama Rante Patola Siti Rabiah. Nama lain dari Komalsyah adalah Karaeng
Balasari. Sebelum diangkat menjadi sultan, Komalasyah bergelar Bumi Partiga
yaitu sebuah jabatan di Istana Bima yang memiliki tugas sebagai pejabat yang
mengajarkan Tata Krama yang harus dilakukan oleh setiap putera dan puteri sultan
Bima. Komala merupakan tokoh wanita Bima pada abad XVIII yang memiliki
komitmen kuat dalam mempertahankan kedudukan Bima sebagai kesultanan yang
dihormati kawan dan ditakuti lawan.
Komala memulai debut karir
politiknya ketika menjadi istri sultan Abdul Kudus Makassar. Dari pernikahan
itu Kumala mempunyai seorang putera yang bernama Usman yang nama makassarnya
dikenal dengan “ Amas Madina “ yang kemudian naik tahta menggantikan ayahnya
yang wafat pada tahun 1753. Tregedi kematian Abdul Kudus ini semakin
mengobarkan semangat Komala untuk berjuang melawan Belanda di Makassar terutama
di Bima. Kebencian Belanda kepada Kumala berawal ketika dia mengangkat
puteranya Amas Madina sebagai sultan Makassar dalam usia 6 tahun pada tanggal
21 Desember 1753.
Tidak hanya itu, Komala juga
kembali ke Bima dan diangkat oleh Majelis Hadat menjadi sultanah. Penobatan ini
memang sempat menimbulkan kontroversi di kalangan majelis adat Dana Mbojo.
Sebagian anggota majelis adat menganggap bahwa dalam islam seoarang perempuan
tidak boleh menjadi pemimpin. Sementara disisi lain majelis adat telah
mengangkat adik kandung Kumala yang Abdul Kadim sebagai sultan yang masih
berusia 9 tahun dan diwali-kan oleh Jeneli Rasanae Sultan Abdul Ali. Sistim
perwalian memang telah menjadi konvensi dalam kesultanan Bima yang apabila
putera mahkota berusia muda tetap diangkat menjadi sultan namun dilakukan
sistim perwalian sampai sang sultan beranjak dewasa.Abdul Ali terlalu banyak
merangkap jabatan penting kesultanan. Disamping sebagai Wali Sultan dan Perdana
Menteri, Abdul Ali juga merangkap seabgai Jeneli Rasanae. Hal ini menyebabkan
Abdul Ali tidak fokus menjalankan tugas sebagai Wali Sultan.
Namun pada saat itu, keadaan
Bima dan Makasar betul-betul dalam keadaan yang serba sulit. Belanda terus
melakukan penekanan di bidang politik dan ekonomi. Bima dan Makassar terus
diadu domba melalui status kepemilikan tanah Manggarai yang selalu berubah.
Menurut Catatan Naskah BO Sangaji Kai, pada masa Pemerintahan sultan Abdul
Kahir I (1640), daerah Manggarai diserahkan kepada Makassar. Kemudian pada masa
pemerintahan Abdul Khair Sirajuddin dikembalikan kepada Bima. Tetapi pada masa
pemerintahan sultan Hasanuddin Bima(Bukan Sultan Hasanuddin Makassar) Manggarai
kembali menjadi milik Makassar, karena menjadi mahar pernikahan puteranya
Alauddin (Ayah dari Kumala) dengan Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi puteri Sultan
Makassar Sirajuddin.
Komala tampil di pentas
sejarah menjadi jembatan dan pelerai perseteruan antara Bima dengan Makassar
atas tanah Manggarai sekaligus menghentikan intrik adu domba Belanda yang
mengadu Bima dengan Makassar yang masih serumpun dan sedarah. Disamping
itu, Komala mengetahui bahwa Wali Sultan Abdul Ali termakan hasutan Belanda dan
telah menandatangani kontrak dagang dengan Belanda yang sangat merugikan
perekenomian Kesultanan Bima. Bima terpaksa mengakui politik monopoli dagang
Belanda. Campur tangan Komala Bumi Partiga terpaksa dilakukan untuk
menyelematkan Bima sekaligus Makassar. Berkat usaha itulah hubungan Bima dengan
Makassar dapat diperbaiki kembali.
 |
Peta Srilangka |
Pembangkangan Kumala Bumi
Partiga atas semua kesepakatan yang dibuat menimbulkan kemarahan Belanda.
Penangkapan terhadap Kumala dan puteranya Amas Madina mulai dilakukan. Pada
tanggal 22 Agustus 1766 Amas Madina terpaksa meninggalkan Makassar karena
usaha-usaha licik Belanda. Dia menemui ibunya di Bima. Dan pada tahun
1767 Bumi Partiga dan puteranya Amas Madina ditangkap Residen Belanda dalam
sebuah undangan musyawarah yang memang telah direncanakan oleh Belanda. Bumi
Partiga dituduh bekerja sama dengan Ingriss kemudian ibu dan anak itu dibawa ke
Batavia (Jakarta) dan akhirnya dibuang ke Sailon Srilangka pada tahun 1795. Dua
pahlawan itu memang telah luput dari pantauan sejarah. Namun perlu diketahui
bahwa kiprah dan perjuangan sungguh berharga bagi tanah dan negeri ini. Karena
kemerdekaan yang kita raih hingga saat ini merupakan buah dari perjuangan dua
anak negeri yang telah menghembuskan nafas terakhirnya di negeri yang jauh yang
terletak di sebelah selatan India itu. Perlu penelusuran tentang kuburan Kumala
Bumi Partiga dan Amas Madina untuk terus mengungkap benang merah sejarah Bima
Dana Mbojo.
Penulis : Alan Malingi
Sumber :
Sejarah Bima Dana
Mbojo, Abdullah Tayib, BA
Peran Kesultanan Bima
Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M.Hilir Ismail
Kebangkitan Islam Di
Dana Mbojo, N. Hilir Ismail
Profil Raja Dan
Sultan Bima, M.Hilir Ismail & Alan Malingi
Chambert Loir Henry,
Syair Kerajaan Bima, Lembaga Pendidikan Prancis Untuk Timur Jauh (EFEO),
Jakarta 1982.
Chambert Loir Henry,
Sitti Maryam R. Muhammad Salahuddin,” Bo Sangaji Kai”, Yayasan Obor, Jakarta,
1999.
Abdul Gani Abdullah,
Badan Hukum Syara Kesultanan Bima, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Ahmad Amin, Sejarah
Bima “Sejarah Pemerintahan Serba – Serbi Kebudayaan Bima”’ (Stensil) 1971.
Muslimin Hamzah,
Ensiklopedia Bima, 2004
www.alanmalingi.wordpress.com
Post a Comment