Ritual Cera Labu
![]() |
Foto : Erwan Setyawan |
Cera
Labu adalah ritual tahunan yang dilakukan oleh masyarakat di desa Soro
kecamatan Kempo Kabupaten Dompu. Ritual ini biasanya dilakukan pada saat
purnama hari ke empat belas pada setiap bulan Mei. Tapi keputusan Cera Labu
juga dilakukan dengan musyawarah warga dengan keturunan-keturunan orang-orang
yang memang pewaris Cera Labu di masa silam. Pengurus Ritual Cera Labu adalah
keturunan langsung dari orang-orang Bugis yang ada di desa tersebut.
Al
kisah, pada zaman dahulu ada dua saudara kembar yang hidup di tepi pantai desa
Soro. Pada suatu hari satu anak tersebut tiba-tiba hilang. Lalu dicarilah oleh
ayah bunda dan keluarganya dibantu oleh masyarakat. Pencarian itu dilakukan
selama berhari-hari bahkan berbulan bulan. Namun tidak berhasil menemukan bayi yang
hilang itu.
Ketika
proses pencarian dilakukan di laut, tiba-tiba muncullah anak yang hilang itu
dan memberitahu bahwa jangan mencarinya lagi kemana-mana. Sesungguhnya dia
telah mengabadikan hidupnya di laut itu dan tempat tinggalnya adalah Di Toro Ruma
(Tanjung Ruma) yang berada di seberang barat pesisir desa Soro. Di Toro Ruma,
adalah kehidupan lanjutan bagi keluarga warga desa Soro yang telah meninggal
dunia. Mereka meyakini bahwa leluhurnya yang telah meninggal itu masih “
bersemayam “ di Toro Ruma.
![]() |
Foto Erwan Setyawan |
Sejak
itulah, masyarakat di desa Soro menggelar ritual Cera Labu setahun sekali untuk
memberikan makakan kepada keluarganya yang ada di laut dan di Toro Ruma. Mereka
memberikan makanan dan sesembahan kepada sanak keluarganya yang telah “pindah”
tempat tinggal di laut maupun di Toro Ruma. Sesembahan itu adalah kepala
kerbau. Kerbau itu disembelih dan dagingnya dimasak untuk dimakan bersama-sama
warga. Sedangkan kepalanya untuk sesembahan. Kerbau yang layak disembelih untuk
Cera Labu adalah kerbau yang berusia 2 sampai tiga tahun dengan panjang tanduk
sekitar 30 cm. Disamping kepala kerbau, sesembahan juga berupa 2 ekor ayam
betina dan 2 ekor ayam jantan, 9 butir telur, beras 2 kilogram, kentan 2
kilogram, pisang 20 pucuk, 4 buah kelapa.
Sesembahan
itu disimpan di atas sebuah rakit dari bambu dan dibalut dengan kain putih
ukuran 6 meter. Rakit itu dibuat dari bambu besar sebanyak 6 batang. Proses
pembuatan rakit dilakukan secara gotong royong dengan masyarakat setempat. Pada
malam hari sebelum acara Cera Labu, dilakukan ritual doa dan atraksi kesenian
Gantaong serta Rawa Mbojo semalam penuh. Atraksi kesenian itu adalah untuk
menghibur warga yang membuat rakit dan mempersiapkan sesajian untuk dihanyutkan
ke laut pada keseokan harinya.
Pada
pagi hari, seluruh persiapan Cera Labu telah siap dilaksanakan. Bupati Dompu,
dan para pejabat berdatangan. Mereka manaiki rakit yang telah disiapkan bersama
sesajian yang telah dibungkus kain putih di atas rakit itu. Ketika mencapai ke
tengah laut, maka dimulailah Cera Labu. Tetua adat dan keturunan langsung yang
melaksanakan upacara Cera Labu melantukan mantra-mantra dan memanggil semua
nama keluarganya yang telah meninggal dunia. Sambil mengucapkan satu persatu
nama orang yang meninggal itu, sesajian dihanyutkan ke laut.
Usman
Caco, pelantun mantra Cela Labu mengemukakan, penyebutan nama keluarga dan
orang-orang yang telah meninggal itu berlangsung lama, karena dia harus
mengingat semua keluarganya yang telah wafat. ( Sayang nama-nama itu tidak diberitahukan kepada tim karena pamali
atau larangan untuk menyebutkan nama itu diluar dari upacara Cera Labu atau
selain di tengah laut itu).
Berikut
kutipan mantra Cera Labu
Maira
dohoe
Ake
Nami ma mai mbeimu
Oha
ra utamu
Mbei
ja pu ru’u nami
Di
ma mangoke
Di
mori kaimu
( Lalu disebutkanlah nama-nama
keluarganya……..)
Marilah saudaraku
Ini kami yang datang memberi
Nasi dan lauk untukmu
Berilah kami juga
Yang hidup di alam kering ini
Untuk kehidupan kami
Kehidupan
laut diibaratkan dengan kehidupan basah. Sedangkan kehidupan darat adalah
kehidupan kering. Oleh karena itulah, masyarakat Soro mengembangkan konsep
keseimbangan antara kehidupan laut yang basah dengan kehidupan darat yang
kering. Cera Labu juga dihajatkan untuk meminta rejeki untuk satu tahun kedepan
kepada laut dan isinya sebagai sumber kehidupan bagi warga Soro dan sekitarnya.
Penulis
: Alan Malingi
Informan
: Usman Caco, desa Soro Kempo-Dompu.
Post a Comment