Belajar Dari Ampa Fare
Leluhur orang Bima telah
mewariskan tatanan nilai dan kearifan lokal kepada generasinya. Kearifan itu
tidak hanya tertulis dalam buku-buku sejarah, tetapi tercecer secara turun temurun
dan menjadi konvensi hidup masyarakat Bima selama berabad-abad lamanya. Salah
satu warisan nilai dan kearifan itu adalah Tradisi Ampa Fare atau mengangkat
Padi ke Lumbung yang digelar bertepatan dengan Festival Kuda Bima pada awal
Desember 2010 di kompleks Uma Lengge Desa Maria Kecamatan Wawo. Kegiatan ini
digelar dalam rangka HUT NTB ke-52 dan Menyambut Visit Lombok And Sumbawa 2010
Tradisi Ampa Fare di Jompa atau Lengge (
Lumbung) memberikan pelajaran kepada kita terutama kaum ibu untuk berhemat dan
mampu mengukur persediaan bahan makanan untuk kebutuhan keluarga. Dalam tradisi
ini diajarkan bahwa seorang ibu rumah tangga hanya diperkenankan mengambil padi
dan palawija lainnya di atas lumbung sekali dalam seminggu. Hal ini berarti
bahwa seorang ibu rumah tangga harus dapat memperkirakan kebutuhan makanan
keluarga selama satu minggu. Misalnya padi dibutuhkan berapa ikat, berapa biji umbi-umbian,
berapa biji jagung serta bahan makanan lainnya.
Sebalikya bagi ibu rumah
tangga yang mendatangi lumbung lebih dari sekali dalam seminggu akan menanggung
malu karena dicap sebagai ibu rumah tangga pemboros. Disamping itu, ibu rumah
tangga juga tidak diperkenankan membelanjakan atau menjual padi untuk
keperluan lain karena ada keyakinan bahwa padi akan menangis jika hal itu
dilakukan. Ada cerita turun temurun bahwa padi sebagai Ruma Nawa atau sumber
kehidupan tidak boleh ditukar atau dijual. Pada masa lalu, padi disimpan
di Uma Lengge atau Jompa adalah untuk kebutuhan satu tahun mengingat kondisi
dan keadaan iklim di Bima-Dompu merupakan daerah tadah hujan, dan hanya
mengandalkan hasil panen sekali setahun. Disamping itu, penyimpanan padi di
atas Uma Lengge dihajatkan untuk meminimalisir resiko kerugian apabila dilanda
bencana kebakaran. Apabila Rumah Tempat Tinggal terbakar, maka padi sebagai
bahan makanan pokok tidak ikut terbakar, demikian pula jika Lengge atau atau
Jompa terbakar, maka pemukiman tidak ikut terbakar. Oleh karena itulah,
kompleks Uma Lengge di Desa Maria Kecamatan Wawo Kabupaten Bima dibangun agak
jauh dari pemukiman penduduk.
Penyimpanan
padi atau palawija di atas Lengge tentu juga memperhatikan kapasitas Uma Lengge
Atau Jompa. Oleh karena itu, di atas Lengge telah diatur sedemikian rupa
ruang-ruang untuk penyimpanan padi, jagung, Witi (Jewawut), Lere (Jali-Jali)
serta Latu ( Gandum ). Satu Lengge biasanya berisi Sajala Fare ( atau seribu
ikat Padi), Santari Jago( 200 biji Jagung), Jewawut, Jali-Jali, serta gandum
secukupnya. Stok ini adalah kebutuhan untuk satu tahun. Karena pada masa
lalu,panen hanya dilakukan sekali dalam setahun. Biasanya, kebutuhan stok itu
mampu dilakukan sampai pada musim panen berikutnya.
Dalam Tradisi atau
upacara Adat Ampa Fare, prosesinya diawali dengan pengumpulan dan perhitungan
padi dan palawija yang akan disimpan di atas Uma Lengge.Upacara diawali dengan
Doa Salama atau pembacaan Doa selamat untuk memohon kepada Tuhan semoga padi yang
disimpan di Lengge dalam keadaan aman. Doa dimpimpin oleh tokoh agama atau
ulama setempat. Setelah itu, prosesi Ampa Fare dimulai yang diawali pelemparan
padi ke atas lumbung yang biasanya dilakukan oleh kepala desa atau tetua adat.
Setelah itu diikuti oleh anggota keluarga dan masyarakat. Sementara di atas Uma
Lengge ada satu orang yang menerima lemparan padi tadi dan mengatur posisi padi
atau palawija di atas Uma Lengge supaya posisinya teratur dan tertata rapi.
Pada
masa lalu, Upacara Ampa Fare dilaksanakan secara gotong royong dan
berlangsung di kompleks Uma Lengge Maria ini. Kebersamaan dan pelajaran Hemat
yang terkandung dalam tradisi ini sesungguhnya masih relevan untuk
diterapkan pada masa kini. Momentum ini disamping dihajatkan untuk promosi wisata
budaya di daerah Bima, ternyata menyimpan tatanan nilai dan kearifan lokal yang
harus terwawrisi sampai kapanpun. (Alan).
Penulis : Alan Malingi
Post a Comment