f Falsafah Tiga Ujung - SEJARAHBIMA.COM | Mengupas Sejarah, Budaya dan Pariwisata

Header Ads

Falsafah Tiga Ujung

Balla Lompoa Gowa
Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Gowa melakukan ekspedisi militer dalam menaklukan kekuasaan Raja Bima Manuru Salisi dan membantu Abdul Kahir merebut kembali tahtanya. Ekspedisi militer itu sesungguhnya tidak terlepas dari falsafah tiga ujung yang menjadi falsafah masyarakat Gowa selama berabad-abad lamanya. Filosofi itu dikenal dengan Tellu Cappa yaitu Cappa Lila atau ujung lidah,cappa Buto atau ujung kemaluan dan Cappa Badi atau ujung badik.

Pada tahun 1605 Raja Gowa I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin I Tuminanga ri Gaukanna memeluk Islam dan Gowa secara resmi menjadi Negara islam. Beberapa tahun kemudian Alauddin mengirim para mubaliq untuk berdakwah dan menyiarkan agama islam di Bima yang pada saat itu tengah dilanda kemelut politik perebutan kekuasaan. Falsafah Cappa Lila( Ujung lidah) dilakukan oleh kerajaan Gowa, namun tidak mampu menundukkan hati Raja Salisi untuk memeluk Islam.

Jalur diplomasi dan dakwah gagal dilakukan kepada kerajaan Bima. Para mubaliq kemudian menemui Jena Teke Abdul Kahir dan mendakwahkan Islam serta menyampaikan komitmen Alauddin untuk membantu perjuangan Abdul Kahir merebut tahta. Akhirnya Abdul kahir memeluk Islam dan menyusun kekuatan di  Balla Lompoa. Untuk  mengikat hubungan kekerabatan dan kekeluargaan antara Gowa dan Bima, maka politik Ranjang dengan Ujung Kedua pun dijalankan yaitu Cappa Buto atau Ujung kemaluan. Alauddin menikahkan Abdul Kahir dengan Daeng Sikontu, adik dari permaisurinya..

Kisah asmara dan perjodohan antara Abdul Kahir dengan Daeng Sikontu dilukiskan dalam BO. “ Barangkali ada kesukaannya yang hendak berbuat bini atas Tanah Makassar  karena aku lihat kelakuannya anak Raja Bima ini seolah-olah hendak bebini. “ Demikian BO mengutip perkataan Sultan Alauddin Makassar yang disampaikan kepada pembantunya Karaeng Popo dan Karaeng Tapi. Lalu kedua pejabat itu menyampaikan kepada Abdul Kahir. Maka Abdul Kahir yang telah terpaut hatinya kepada Daeng Sikontu mengatakan .” Adalah hamba lihat yang duduk di pihak kanan oleh Raja perempuan yang memegang kipas perak itulah hamba suka. “ Maka keinginan Abdul Kahir itu pun disampaikan kembali kepada Sultan Alauddin. ( Lalu Massir Q Abdullah, Mengenal BO Catatan Kuno Daerah Bima, 40-41 ). Melalui Cappa Buto, Abdul Kahir telah menjadi keluarga besar Kerajaan Gowa dan lahirlah Sang I Ambela ( Sultan Abdul Khair Sirajuddin) yang kelak menjadi Sultan Bima kedua pada tahun 1627.

Di Bima, kekuasaan Salisi tak terkalahkan. Salisi semakin berkuasa. Akhirnya Gowa mengeluarkan ujung yang terakhir yaitu Cappa Badi( Ujung Badik). Dagh-Register 23 Mei 1633 menguraikan, pada tahun 1632 Bima memberontak dengan bantuan Raja Dompu (idem:330). Menurut catatan pelabuhan Batavia, pada tahun 1633, sebuah kapal Belanda yang baru tiba di Bima melihat “ semua sawah,rumah, dan desa dibakar dan dihancurkan oleh Armada Makassar sebesar 400 perahu dan ribuan orang yang disuruh oleh Raja Makassar memulihkan di atas takhta iparnya yang baru digulingkan oleh rakyatnya dan dibuang ke pulau gunung Api. “ (Henry Chambert-Loir & Siti Maryam R.Salahuddin, BO Sangaji Kai : XIX).

Gowa mengirim ekspedisi besar-besaran dibawah pimpinan Datu Patiro Bone dan La Mbila ( Abdullah Tayib, BA. 114).  Hal ini dilakukan sebagai upaya terakhir setelah dua ujung itu tidak membuahkan hasil. Pertempuran hidup dan mati pun berkecamuk di Bima hingga menewaskan Sang Bumi Renda ( Panglima Perang) kerajaan Bima yang setia kepada Abdul Kahir yang bernama Rato Waro Bewi. Kematian Rato Waro Bewi dilukiskan dalam BO “ Adapun Rato Waro Bewi memerangi orang yang mengejar,dan wafatlah ia,tetapi orang yang mengejar tiada mendapati raja berempat. “ Salinan BO ini dikutip Abdullah Tayib, BA dalam Sejarah Bima Dana Mbojo halaman 113. Raja berempat yang dimaksud adalah La Ka’i atau Abdul Kahir, Manuru Bata atau Sirajuddin, La Mbila atau Jalaluddin, Bumi Jara Sape atau Awaluddin. Mereka berempat telah diselamatkan ke pulau Sangiang oleh orang-Orang Wera dibantu laskar Makassar.  (Baca : Tragedi Doro Cumpu ).

Cappa Badi berhasil dan Bima menjadi Negara Islam sejak tanggal 5 Juli 1640 M. Setelah itu, ada delapan generasi kesultanan Bima yang menjalin politik Ranjang dengan bangsawan Gowa.(Baca Politik Ranjang Bima - Gowa).

Penulis : Alan Malingi

Sumber :

1.    Abdullah Tayib, BA, Sejarah Dima Dana Mbojo
2.    Alan Malingi, Tragedi Doro Cumpu, www.bimasumbawa.com
3.    Alan Malingi, Politik Ranjang Bima – Gowa, www.bimasumbawa.com
4.    Henry Chambert – Loir & Siti Maryam R. Salahuddin, BO Sangaji Kai
5.    Lalu Massir Q. Abdullah. Mengenal BO Catatan Kuno Daerah Bima
6.     Dagh-Register 23 Mei 1633
7.    https://hatta16.wordpress.com/2009/06/06/falsafah-3-ujung-tellu-cappa-bugis-makassar/


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.