Jalan Panjang Rawa Mbojo
![]() |
Sampai tertidur menghayati syair Rawa Mbojo |
Antara Patu
Mbojo(Pantun Bima) dengan Rawa Mbojo
tidak bisa dipisahkan. Karena yang dilantunkan dalam Rawa Mbojo adalah patu
mbojo, meskipun ada beberapa untaian patu mbojo yang tidak dilagukan dalam rawa
mbojo. Tetapi secara umum, rawa mbojo bersumber dari patu mbojo yang
dilontarkan secara spontan pada saat bekerja di ladang, hajatan-hajtan dan seluruh rangkaian prosesi pernikahan adat
Mbojo pada masa lalu.
Senandung dan
lagu lama jauh sebelum munculnya Rawa Mbojo yang diiringi Biola dan Gambo(gambus) telah banyak dilantunkan oleh masyarakat Bima
di berbagai pelosok. Di Sambori dan kawasan Donggo Ele(kawasan Donggo sebelah timur teluk Bima yang meliputi desa
Sambori,Teta,Kaboro, Kadi, Kuta,Tarlawi di lereng gunung Lambitu), masih
mewarisi syair dan senandung Arugele,Belaleha,Bola Mbali, Mangge Ila, Kasaro
dan Kalero. Senandung ini biasa dilantunkan pada saat upacara-upacara adat,
menanam,panen dan hajatan-hajatan warga. Khusus senandung Arugele memiliki
beberapa jenis yaitu Arugele Ngguda (menanam), Arugele Suna Ra Ndoso(Khitanan)
dan Arugele Nika Ro Neku (Pernikahan).
Demikian pula
halnya dengan senandung Belaleha. Senandung ini juga terdiri dari beberapa
bagian yaitu Belaleha Suna ro Ndoso
(Khitanan) dan Belaleha Nika Ro Neku(Pernikahan). Syair Belaleha berisi petuah,
nasehat, pantun dan pujian dan harapan
kepada yang Maha Kuasa. Sesuai fungsinya, Belaleha dibagi dalam dua jenis
yaitu Belaleha Randa dan Belaleha Ranca.
Belaleha Randa dihajatkan untuk penobatan seseorang dalam satu upacara adat dan
pada masa pra Islam untuk persembahan sesajian, tetapi setelah Islam ritual itu
tidak dilaksanakan lagi. Sedangkan Belaleha Ranca digelar untuk hiburan biasa.
Di Donggo Ipa (Kawasan donggo di gugusan pegunungan
Soromandi di sebelah barat teluk Bima), juga terdapat syair dan senandung
kasaro,kalero, nggahi dana, Mpisi kande,Arugele dan Ina Mbaru. Senandung –
senandung tersebut tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Donggo Ipa
sejak berabad-abad lamanya terutama dinyanyikan pada saat ritual upacara adat
dan keagamaan. Disamping syair dan
senandung di atas, masih terdapat senandung lainnya yang sering dilantukan
masyarakat Mbojo di masa silam seperti Senandung Temba,Kandinga, Kande, Kabadu,
Saribi, Mpisi, Rawa Nu’a, Rawa Olo, Ziki Guru Bura dan senandung lainnya yang
kini telah hilang dari peredaran.
Seiring dengan
itu, muncul juga lagu Dangdut berbahasa Mbojo yang turut dinyanyikan oleh
artis-artis nasional seperti Mansyur S, Yus Yunus dan lain-lain. Kemunculan
lagu-lagu berbahasa Mbojo ini tidak dapat dipungkiri sebagai sebuah adaptasi
kesenian dan kreasi musik dan seni tarik suara yang terus berkembang dari waktu
ke waktu.
Rawa Mbojo Biola
dan Gambo juga mengalami pengembangan dengan lahirnya bentuk musik baru yang dikenal dengan “ Biola Katipu “. Bentuk
musik ini adalah perpaduan antara Biola,Gambo, Gitar Bas, Simbal Drum dan
Katipu atau Ketipung yang menjadi salah satu alat musik ciri khas dangdut.
Kehadiran Biola Katipu memang membawa warna baru dalam blantika musik di Dana
Mbojo, namun rentan terhadap berbagai gesekan di arena konsernya.
Biola Katipu
identik dengan joget lepas dan mabuk-mabukkan yang kerap menimbulkan konflik di
Bima. Oleh karena itu, keberadaan Biola Katipu memang dilematis. Di satu sisi
cukup diminati, tetapi di sisi lain mengundang konflik terutama di kalangan
anak-anak muda di pedesaan. Disamping itu, dalam beberapa syair lagu Biola
Katipu mengandung hal-hal yang seronok. Contohnya dalam lirik lagu yang
berjudul Ari-Ari karya Ari Pele. “ Ari
–ari –ari mai ta maru ara” (adinda mari tidur di sini). “ Ama Nggomi ma tapa ama nggomi di
topa” (Ayahmu yang menghadang, ayahmu ku
tampar).
Rawa Mbojo, baik
berupa syair dan senandung tanpa iringan alat musik saat ini kondisinya
memprihatinkan karena proses regenerasi yang stagnan. Seniman tua yang sudah
senja sangat mengharapkan proses regenerasi kesenian Rawa Mbojo. Namun generasi
muda tidak tertarik untuk melakoni kesenian Rawa Mbojo akibat pengaruh kesenian
modern.
Syair dan
senadung di Sambori seperti Arugele, Belaleha, Kasaro, Mangge Ila, dan Bola
Mbali masih bertahan dalam bibir orang-rang tua. Demikian pula halnya senandung
Olo di seberang teluk Waworada. Ziki Guru Bura yang merupakan warisan sejarah
masuknya Islam di tanah Bima hanya dilantunkan oleh satu grup ziki dari desa
Rai Oi Kecamatan Sape Bima. Senandung Inambaru di Donggo hanya dilantunkan oleh
seorang ibu bernama Cristine Siti Hawa.
Yang
memprihatinkan juga adalah Rawa Mbojo dengan alat Musik Biola dan Gambo dengan
irama atau Ntoko lama dan klasik saat ini sudah sangat terbatas penyanyinya.
Dalam penelusuran Tim Majelis Kabudayaan Mbojo, penyanyi Rawa Mbojo yang
menguasai Genre lama dengan syair penuh petuah dan nasehat tidak lebih dari 5
orang. Genre atau Ntoko lama tersebut erat kaitannya dengan sejarah Bima
seperti Ntoko Tambora, Ntoko Ka’e, Ntoko Lopi Penge. Ntoko Karendo. Ntoko
Koncowanco, Ntoko Sijoli Wura Ma Mbolo, Ntoko Sijoli Sape, Ntoko Tembe Jao
Galomba, Ntoko E Aule, Ntoko Dali,dan Teka Mpende.
Rawa Mbojo perlu
diselamatkan dari kepunahan dan perlu ditularkan kepada generasi muda untuk
mencintai kesenian Rawa Mbojo sebagai warisan sastra lisan Mbojo yang telah
tumbuh dan berkembang selama berabad-abad lamanya. Sebagaimana yang diuraikan
di atas, maka Rawa Mbojo perlu direvitalisasi dalam rangka upaya pelestarian
nilai-nilai seni budaya daerah sebagai puncak kebudayaan bangsa Indonesia.
Jenis Rawa Mbojo
yang perlu mendapatkan perhatian untuk direvitalisasi adalah :
1.
Syair
dan senandung Arugele, Belaleha, Mangge Ila, Bola Mbali,kalero dan Kasaro di Sambori Bima.
2.
Senandung
Olo di pesisir teluk Waworada Bima
3.
Senandung
Inambaru di Donggo Bima
4.
Ziki
Guru Bura di desa Rai Oi Kecamatan Sape Bima
5.
Senandung
menanam Sagele di lereng pegunungan Wawo dan di Kota Bima
6.
11
Irama atau Ntoko Rawa Mbojo sebagaimana disebutkan di atas yaitu Ntoko
Ka’e.Ntoko Tambora, Ntoko Lopi Penge, Ntoko Karendo, Ntoko Koncowanco, Ntoko
Sijoli Wura Ma Mbolo, Ntoko Sijoli Sape, Ntoko Tembe Jao Galomba, Ntoko E Aule,
Ntoko Dali,dan Teka Mpende.
Enam Jenis Rawa
Mbojo tersebut perlu digelar dalam satu pentas bersama untuk menggairahkan dan
memotivasi seniman muda Bima untuk mencintai Rawa Mbojo sebagai warisan
budayanya. Disamping itu, perlu difasilitasi pembentukan Sanggar atau wadah
pembinaan dalam merekut elemen muda untuk bergabung dalam kelompok seni sastra
tersebut.
Penulis : Alan
Malingi
Post a Comment