 |
Komplek Uma Lengge Wawo ( Foto: Comenk Tarmizi Zrp) |
Berbarengan dengan acara
Kalondo Lopi di Gunung Sangiang, juga ada acara keren "Festival Uma
Lengge" di Desa Maria Kec. Wawo. Sayang, karena waktunya bersamaan dengan
acara di Sangiang, sayapun tidak bisa menghadirinya. Namun saya sungguh senang
mendengar ada kegiatan tersebut. Apalagi denger-denger itu inisiatif murni
masyarakat dan para penggiat Budaya di Bima. Bukan anti acara Pelat Merah sih,
tapi sebaiknya kegiatan2 tradisi memang harus berbasis masyarakat. Sebab
tradisi itu kan tumbuh berkembang di Masyarakat.
Festival Uma Lengge,
menjadi sangat penting bagi saya, sebab itu bukan hanya pro Harritage, tapi
juga untuk menelusuri “muasal” peradaban Bima. Uma Lengge (Uma=rumah,
Lengge=Kerucut) merupakan rumah adat tradisional Bima. Setahu saya, biasanya
rumah jenis ini hanya ada di wilayah pegunungan/dataran tinggi. Ini seperti
membuktikan bahwa peradaban awal Bima (Pra Mbojo) itu adalah kebudayaan
Gunung/Perbukitan. Masyarakatnya hidup dari berladang.
 |
Penulis lagi bersama Si Bejo Di Uma Lengge |
Secara umum
topografi/Geokultur (bentang alam) daerah Bima adalah perbukitan kering.
Wilayah subur hanya terdapat dilembah-lembah yang dialiri sungai. Itu mengapa
Masyarakat Bima Awal cenderung membangun rumah/perkampungan di lereng/atas
perbukitan dekat mata air. Selain efesiensi penggunaan lahan, juga mengurangi
resiko ancaman terutama dari binatang buas dan serbuan/penjarahan dari
kampung/klan/suku lain. Tentang konflik tersebut tercatat secara apik dalam Bo
Sangaji Kai, dimana diceritakan sebelum kedatangan Sang Bima, moda sosial
masyarakatnya masih terkelompok dalam beberapa klan dan saling bermusuhan.
Masing-masing Klan ini dipimpin oleh orang kuat (Ncuhi).
 |
Foto : Taktan.tumblr.com |
Secara Arsitektural
memang karakter khas Uma Lengge itu berciri pegunungan. Atapnya yang tinggi
meruncing itu mengurangi resiko terpaan angin dan hujan lebat. Biasanya Uma
Lengge terbagi dalam tiga ruang, dimana ruang paling atas digunakan untuk
penyimpanan Logistik, bagian tengah untuk ruang keluarga (termasuk dapur), dan
bagian bawah adalah balai-balai terbuka yang biasanya digunakan untuk menerima
tamu atau bersantai. Secara umum bentuk bangunan ini kecil dan tertutup, ini
menyiratkan bahwa karakter dasar masyarakatnya agak tertutup. Sistem sosialnya
bukan komunalistik seperti masyarakat Dayak dengan rumah panjangnya atau
seperti di Flores yang masing rumah terdiri dari beberapa keluarga.
Adalah sangat menarik
melihat sisi perkembangan sosial masyarakat dari logika arsitektural ini. Kini
peradaban Uma Lengge hanya tersisa di beberapa tempat saja. itupun biasanya
hanya digunakan untuk lumbung penyimpanan logistik. Masyarakat Bima skrg ini
sudah jarang yang menggunakan "konsep" arsitektural Uma Lengge.
Padahal bisa saja itu dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan zaman.
Saya berharap ke depan
kegiatan festival Uma Lengge ini tidak hanya menonjolkan atraksi budaya/kesenian
saja, tetapi juga bisa menjadi media presentasi atas studi-studi kearifan lokal
masyarakat Bima, semisal tentang sistem sosial yang dihasilkannya, konsep
ketahanan pangan, mitigasi kebencanaan, pengelolaan lingkungan, aspek-aspek
pertaniannya (moda ekonomi) dan lain-lain. Syukur-syukur kegiatan ini tidak
hanya dilakukan di Wawo tapi juga bisa bergilir di Mbawa dan Sambori.
Penulis : Paox Iben
Mudhaffar
Post a Comment