Teluk Bima, Reklamasi Dan Penghancuran Peradaban
![]() |
Kuda dan Senja Teluk Bima (Foto : Paox Iben) |
Bicara tentang pengembangan Kemaritiman tentu banyak aspek yang
harus dilihat. Selain berpikir multi-efectnya yang memang sungguh luar biasa,
kita juga mesti melihat struktur kebudayaan masyarakatnya. Apa? kaitannya
dengan kePariwisataan? mendatangkan fulus, eh orang sebanyak-banyaknya? Uuh,
emm…apa ya… Saya sih berpikir simple, sederhana aja. Nggak perlu promosi atau
pake lipstik dan berdak berlebihan, asal manusia kita hidup selaras dengan
lingkungan sudah pasti banyak orang akan datang. Sebab semua sudut negeri ini
sangat indah dan Exotis.
Seperti
Teluk Bima, selain Landscape alamnya yang memang sangat indah, sejarah,
kebudayaan dan kehidupan masyarakat yang ada disekelilingnya juga sangat
menarik hati. Kalau kita membaca naskah kuno kerajaan Bima, Bo Sangaji Kai
(abad ke 14 atau mungkin sebelumnya), maka akan menemukan banyak catatan
tentang keberadaan Teluk Bima ini.
Di
kisahkan, ketika Sang Bima pertama memasuki Teluk Bima menaiki kapal yang besar
beriring-iringan, (ah, saya pun membayangkan saat itu) bagaimana iring-iringan
kapal tersebut menyibak kabut tipis yang mengambang diatas teluk/perairan
sempit yang dikelilingi gunung gemunung, savana serta hutan rawa-rawa yang
sangat lebat. Hewan-hewan; Buaya, ular, kijang, kera, berlarian. Burung-burung
dan seluruh penghuni rawa berhamburan mendengar “bende”/Canang yang ditabuh
bertalu-talu dari buritan. Dan di haluan kapal, Sang Bima memerintahkan
iring-iringan merapat. Di sini, di Teluk Bima, bukan hanya kapalnya tetapi juga
hatinya tertambat. Iapun mulai membangun peradaban, dan terbukti betapa dasyat
dan kerennya itu. Sebab kerajaan sebesar Majapahitpun, hanya bertahan 200
tahun. Tetapi Bima masih bertahan hingga hari ini.
Ya,
hingga saat inipun Teluk Bima tetap menjadi berkah dan memberi penghidupan bagi
berjuta-juta orang sepanjang kurun waktu. Ada yang menjadi nelayan, Petani,
Petambak, atau membuat ladang-ladang garam di ujung Teluk. Setiap sore,
puluhan, bahkan ratusan kuda dimandikan di bagian teluk yang dangkal. Apalagi
jika musim pacuan yang menghadirkan joki-joki kecil itu.
Teluk
Bima juga memiliki Bandar/Pelabuhan Rakyat yang sangat hidup sejak abad-abad
lampau. Setiap minggunya puluhan kapal datang dan pergi mengangkut berbagai
hasil bumi atau binatang ternak. Sejak dahulu kala, Bima memang dikenal sebagai
penghasil ternak-terutama Kuda dan kerbau terbaik. Dan Kini, Bima juga dikenal
sebagai penghasil bawang merah terbesar di Indonesia Timur. Para Petani Bima
bahkan berekspansi untuk menanam Bawang Merah, padi, kedelai dan jagung hingga
ke luar daerah. Jadi, meskipun secara umum lahan subur/produktif di Bima sangat
kecil (kurang dari 13% dari total wilayah) namun sektor riil/ekonomi kerakyatan
di Bima sangat hidup.
Sayangnya
kini keberadaan teluk Bima mulai terancam oleh laju modernisasi dan pembangunan
yang tanpa arah. Saya tak habis pikir misalnya, bagaimana nalarnya pemkot Bima
membangun pasar dengan mereklmasi teluk yang menjadi sandaran hidup banyak
manusia itu. Selain ancaman sampah dan pencemaran, sudah jelas itu melanggar UU
karena membabat hutan mangrove. Dan luar biasanya, nggak ada yang protes,
apalagi heboh kayak di Bali atau Jakarta.
Selain
itu setiap hari teluk ini harus menampung bermatrik-matrik ton sampah rumah
tangga, air detergen, Pupuk Kimia dan penggunaan konsentrat untuk pakan ikan
ditambak. belum lagi ancaman pendangkalan akibat bukit-bukit yang dijadikan
areal perumahan dan pembangunan infrastruktur lainnya.
Penulis : Paox Iben Mudaffar
Post a Comment