Tradisi Kalondo Wei
Kalondo Wei adalah salah satu rangkaian dari prosesi
pernikahan adat Bima. Kalondo Wei atau kalondo dou di wei adalah mengantar
calon pengantin puteri dari kediamannya menuju ke Uma Ruka atau rumah untuk
pengantin. Uma Ruka adalah rumah yang memang telah disiapkan oeh calon
pengantin pria untuk hidup bersama calon istrinya kelak. Karena pada masa lalu,
sebelum menikah calon pengantin pria harus menyiapkan rumah. Prosesi ini
termasuk prosesi inti setelah prosesi pengantaran dan serah terima mahar. Tenggang
waktunya adalah Sajama’ah (sejum’at atau sepekan) kadang – kadang sawura
(sebulan) setelah pengantaran mahar. Kalondo Wei dilaksakan pada bulan purnama sesuai sholat
Isya.
Calon penganten putri diturunkan (kalondo) dari atas
rumah orang tuanya dan diusung ke uma ruka ( rumah penganten). Pada masa lalu
usungan itu menggunakan kursi kayu atau kursi rotan. Tetapi ada juga yang
menggunakan usungan Pabule yang dirancang khusus. Dia diantar oleh sanak
keluarga dan kerabat dengan berbusana adat yang beraneka ragam sesuai dengan
status sosial dan usia pemakai. Kesenian pengiring Kalondo Wei adalah atrasi
jiki hadra (jikir hadra) diiringi musik rebana Pada waktu yang bersamaan di uma
ruka sedang berlangsung “Ngaji kapanca” (tadarusan
pada upacara kapanca). Ngaji kapanca akan berakhir bersamaan dengan setibanya
rombongan calon penganten putri di Uma Ruka.
Foto : Ronamase.blogspot.co.id |
Rombongan penganten disambut dengan Tari Wura Bongi Monca
dan dimeriahkan dengan atraksi Mpa’a Sila, Gantao dan Buja Kadanda. Mpa’a Sila
adalah semacam seni bela diri berupa adu kentangkasan menggunakan pedang.
Kadang atraksi ini juga disebut dengan Mpa’a Peda. Gantao adalah atraksi bela
diri seperti silat tanpa menggunakan senjata. Buja Kadanfa adalah atraksi seni
bela diri menggunakan tombak berumbai dari ekor kuda. Ketiga atraksi kesenian
ini diiringi oleh tabuhan gendang,gong dan serunai khas Bima yang disebut
Sarone.
Setelah calon penganten putri bersama rombongan tiba di
Uma Ruka, maka akan dilanjutkan dengan upacara kapanca (penempelan inai).
Upacara kapanca atau penenpelan inai di atas telapak tangan calon penganten
putri dilakukan oleh para tokoh adat perempuan. Peta Kapanca dilakukan secara
bergilir diiringi dengan lantunan jiki kapanca (jikir kapanca) tanpa iringan
musik. Syair jikir berisi pujian atas kebesaran dan kemuuliaan Allah dan Rasul.
Tujuan yang terkandung dalam upacara kapanca adalah
sebagai peringatan bagi calon penganten putri bahwa dalam waktu yang tidak
lama, ia akan menjadi ibu rumah tangga yang akan mengemban tugas mulia dan
berat. Telapak tangan yang selama ini halus mulus, akan bercucuran keringat dan
darah.
Setelah
upacara kapanca berakhir, maka akan dilanjutkan atrasi kesenian jiki hadra. Di halaman
rumah akan dilanjutkan dengan atraksi permainan rakyat seperti Mpa’a sila,
Gantao dan Buja Kadanda. Selain itu ditampilkan pula permainan rakyat
yang bernama “Lanca” yaitu adu kekuatan betis di kalangan kaum
laki – laki. Pada malam itu calon penganten laki – laki tidak boleh berada di
atas uma ruka. Dia hanya boleh berada di halaman rumah bersama para anggota
keluarga. Larangan itu sesuai dengan ketentuan adat.
Penulis :
Alan Malingi
Sumber :
Upacara
pernikahan adat bima-dompu, M.Hilir Ismail & Alan Malingi
Post a Comment