Tradisi Teka Ra Ne'e
![]() |
Foto Kahaba.Info |
Tradisi
ini telah berlangsung lama dan menjadi salah satu ikon budaya gotong royong di
tanah Bima. Ketika ada hajatan seseorang, maka ramailah para tetangga, keluarga,
kerabat dan handai taulan yang datang membantu. Mereka tidak sekedar membantu,
tetapi membawakan beragam kebutuhan untuk hajatan itu. Ada yang membawa kayu
bakar, kue tradisional, beras, kelapa, buah-buahan, dan bahkan hewan ternak.
Biasanya hewan ternak disimbolkan dengan tali pengikat ternak yang dikenal
dengan “ Ai Pote “ sejenis tali yang dirajut dari serat pohon. Karena pada masa
itu belum ada tali nilon seperti sekarang ini.
Teka
Ra Ne’e terdiri dari dua suku kata yaitu Teka dan Ne’e. Secara harfiah Teka
berarti naik. Sedangkan Ne’e artinya mau. Tetapi Teka Ra Ne’e tidak berarti
naik dan mau. Teka Ra Ne’e adalah satu kata yang merujuk pada menunaikan
kewajiban dan keinginan untuk membantu keluarga dan kerabat yang berhajat.
Bahasa Bima tidak selamanya bisa diartikan secara harfiah, karena kata Teka Ra
Ne’e adalah satu kesatuan kata yang merujuk pada menunaikan bantuan untuk
keluarga dan kerabat yang berhajat.
Pada
masa lalu, seseorang yang berhajat melapor kepada tetua adat atau kepala
kampung tentang rencananya menggelar hajatan. Lalu Kepala kampung menugaskan
seseorang untuk memberikan kabar tentang hajatan itu door to door dari rumah ke
rumah. Beberapa hari sebelum dilaksanakan hajatan, istri kepala kampung dan
beberapa orang perempuan datang ke rumah yang berhajat untuk memukul lesung
atau yang dikenal dengan Kareku Kandei. Hal itu dilakukan sebagai tanda bahwa
hajatan akan segera dimulai. Lalu berdatanganlah kaum perempuan untuk melakukan
“ Mbaju “ atau menumbuk padi untuk persiapan hajatan tersebut.
Sejak
hari itulah dilaksanakan Teka Ra Ne’e.
Kaum perempuan mengenakan Rimpu sebagai hijab orang Bima menuju ke rumah tempat
hajatan akan digelar. Semantara kaum lelaki memikul kayu bakar, buah kelapa dan
bahkan beras. Ada juga yang menuntun hewan ternak. Di dalam wonca(Bakul) kaum perempuan
lengkaplah segala jenis kue dan bahan makanan yang dibawa. Suasananya begitu
indah dalam jalinan kerja sama dan gotong royong. Demikianlah seterusnya yang
dilakukan bila ada lagi hajatan lain yang digelar di kampung itu.
Hajatan-hajtan itu biasanya dilakukan pada masa pasca panen dan diatur oleh
Kepala Kampung agar kegiatan hajatan tidak tumpang tindih. Pada masa lalu,
pantang bagi orang Bima melaksanakan hajatan pada saat bulan paceklik dari
bulan September hingga Desember karena masa panen sudah lewat. Masa ini dikenal
dengan “ Wura Hela” atau bulan- bulan dimana masa panen tidak dilakukan.
Kini,
seiring perkembangan zaman Teka Ra Ne’e sudah banyak yang berubah bentuk
meskipun di desa-desa masih rutin dilakukan Teka Ra Ne’e. Teka Ra Ne’e sudah
banyak berbentuk uang. Nilai-nilai kerja sama dan gotong royong sudah berkurang
dengan adanya perlengkapan yang serba jadi seperti terop, kursi, alat kesenian,
pelaminan dan bahkan kateirng makanan. Keluarga yang berhajat hanya tinggal
menyiapkan uang untuk membayar semua kebutuhan hajatan. Pada masa lalu, semua
dikerjakan secara gotong royong seperti membangun paruga atau tenda dengan
bahan kayu dan bambu, meminjam kursi dari rumah ke rumah, merancang pelaminan
dari bahan buah-buahan dan janur kuning dan lain sebagainya. Saya masih ingat
ketika kecil menjunjung kursi dan memikul bambu untuk keperluan hajatan
keluarga. Kursi-kursi yang lagi tren kala itu adalah kadera fenti dan kadera
miro yaitu kursi dari tali plastik dan kursi dari rotan. Masih banyak juga
terdapat kursi kayu. Kursi-kursi itu dipinjam dari rumah ke rumah dan dicatat
serta diberi nama.
Kini
zaman sudah banyak berubah. Teka Ra Ne’e telah bergeser nilai dan pemahaman.
Kadang Teka Ra Ne’e dikonotasikan dengan pemberian uang sogok untuk memperoleh
jabatan kepada pejabat yang lebih tinggi. “
Watisi Teka Ra Ne’e mu wati rakamu.” Jika tidak Teka Ra Ne’e maka tidak
akan dapat, kira-kira demikianlah artinya. Nilai-nilai luhur kebersamaan dan
gotong royong serta saling menghargai semestinya tidak digunakan untuk hal-hal
yang berkonotasi negative. Semoga teka ra ne’e yang masih eksis dilakukan oleh
warga Bima di pedalaman dan di kampung-kampung masih terus berjalan dan mengisi
perubahan zaman.
Penulis
: Alan Malingi
Post a Comment