f Ulama Bima Sahabat Gusdur - SEJARAHBIMA.COM | Mengupas Sejarah, Budaya dan Pariwisata

Header Ads

Ulama Bima Sahabat Gusdur

Ulama ini tidak pernah tenar sebagai ulama kondang dari tanah Bima. Penampilannya biasa saja. Namun, kiprah dan ilmunya cukup luas terutama ilmu tafsir. Kadang warga dan para murid serta rekan sejawat memanggilnya dengan Tuan Guru H.Muhammad Ali bin Hasan. Kadang pula disapa dengan Mahali. Tapi nama lengkapnya adalah H.Muhammad Ali Bin Yunus. Karena ulama ahli tafsir ini adalah putera almarhum Yunus keturunan Bugis-Bone. Muhammad Ali Bin Hasan itu juga disematkan pada namanya karena yang membesarkannya adalah Muhammad Hasan, seorang ulama di desa Simpasai Lambu Bima. Sedangkan Mahali adalah nama julukannya sebagai seorang keturunan Bugis-Bone.

Tuan Guru H.Muhammad Ali Yunus lahir di desa simpasai Lambu Bima pada tahun 1932. Istrinya Hj. Marjan tidak mengingat tanggal dan bulan kelahirannya. Lahir dari buah cinta pasangan Yunus dan istrinya Malawe, Pasangan suami istri yang sama-sama keturunan Bugis-Bone. H.Muhammad Ali merupakan putera ketiga dari lima bersaudara. Saudara-saudaranya adalah Ahmad, Ibrahim,Makrumun dan Asyiah. Sedangkan putra puterinya adalah Aisyah, Fatimah, Fathiyah, dan Nurdin yang semuanya lahir dan menjalani masa kanak-kanak di kota suci Makkah.

Setelah menamatkan pendidikan SR(Sekolah Rakyat) di Sape, Muhammad Ali mulai tertarik di bidang organisasi pergerakakan dan politik saat itu. Partai Masyumi dan Nahdatul Ulama menjadi tempatnya berorganisasi dan berkumpul dengan sesama aktivis pergerakan. Hal itulah yang membawanya mengenal tokoh Muhmmad Natsir dan Buya Hamka. Menurut penuturan istrinya Hj. Marjan, dari pertemuannya dengan Muhammad Natsir itulah yang merekomendasikannya untuk hijrah ke kota Suci Makkah menuntut ilmu agama terutama ilmu tafsir.

Pada tahun 1953 Muhammad Ali berangkat ke tanah suci Makkah al Mukkarramah. Setelah menamatkan sekolah Madrasah Aliyah Di Makkah, Muhammad Ali menuju kota Baghdad Iraq untuk menuntut ilmu antara tahun 1973-1975. Dari universitas Baghdad itulah beliau mengenal sosok almarhum KH.Abdurrahman Wahid alias Gusdur karena merupakan kakak letingnya. Dari Baghdad H.Muhammad Ali kembali ke kota suci Makkah dan menjadi guru pada salah satu Madrasah Ibtidaiyah di kota tersebut dan menetap di jalan Maulid Nabi di belakang Istana kerajaan Arab Saudi di Jabbal Qubis. Bersama beberapa rekannya H.Muhammad Ali juga hijrah ke negeri Belanda untuk melakukan dakwah selama satu tahun yaitu tahun 1976 -1977.

 Sekembali dari Belanda, H.Muhammad Ali melamar gadis Bima yaitu Marjan. Pernikahannya cukup unik yaitu pernikahan melalui foto pada pertengahan tahunc 1977. Selang beberapa bulan setelah melakukan pernikahan Sang Istri, Marjan yang masih merupakan kerabatnya di desa Simpasai Lambu Bima menemui sang suami di Mekkah dan langsung melakukan ibadah umrah. Di kota ini lah H.Muhammad Ali dan Hj.Marjan membina rumah tangga dan melahirkan 4 orang anak. Setelah setahun menikah, puteri pertamanya Aisyah lahir pada tahun 1978. Puteri keduanya Fatimah lahir pada tahun 1980. Puteri ketiganya Fathiyah lahir pada tahun 1981 dan satu-satunya putera, Nurdin lahir pada tanggal 23 November 1982.

 Pada tahun 1985, situasi di kota Makkah berubah. Kebijakan otoritas Mekkah pun mulai ketat terhadap para mukimin yang dari luar negeri terutama yang tidak memiliki izin tinggal dan belum menjadi warga Negara Arab Saudi. Pemerintah setempat memberikan peringatan agar para mukimin segera meninggalkan Makkah. Dengan berat hati, H.Muhammad Ali dan Hj. Marjan terpaksa menjual rumahnya dan kembali ke Bima bersama putera puterinya yang sudah mulai masuk di sekolah-sekolah di negeri itu.
Se kembali Di Bima H.Muhammad Ali beserta istri dan putera puterinya bermukim di kampung Tolobali Kota Bima. Setelah beberapa tahun tinggal di Tolobali, keluarga ini pindah ke kampung Pane. Di kampung inilah H.Muhammad Ali menggelar pengajian dan memiliki banyak murid sambil mengajar di Madrasah Aliyah Negeri Bima dan SMA PGRI Bima. Kepiwaiannya dalam tafsir Alquran membuatnya dikenal oleh sejumlah kalangan terutama para ulama seperti almarhum TG.H.Said Amin, TG.H.Yasin Latief,TG.H.Idris Jauhar dan KH.Abdullah Rabangodu.

Menurut istrinya Hj. Marjan, hubungannya dengan KH.Abdullah Rabangodu sangat dekat karena keduanya merupakan penganut tarekat Naqsabandiyah. Tarekat ini mengutamakan pada pemahaman hakikat dan tasauf yang mengandung unsur-unsur pemahaman rohani yang spesifik, seperti tentang rasa atau "zok". Di dalam pemahaman yang meng"isbat"kan zat ketuhanan dan "isbat" akan sifat "maanawiyah" yang maktub di dalam "roh" anak-anak adam maupun pengakuan di dalam "fanabillah" mahupun berkekalan dlam "bakabillah" yang melibatkan zikir-zikir hati (hudurun kalbu).
Bermula di Bukhara pada akhir abad 14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah. Pada akhir abad 18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asi Selatan wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asi Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap music dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati.

Kebiasaan sehari-hari yang rutin dilakukan H.Muhammad Ali Yunus adalah membaca kitab suci Alqur’an dan berzikir. Semasa hidupnya, ulama ini dikenal pendiam dan sabar. Atas kefasihan dan penguasaannya dalam ilmu tafsir, H.Muhammad Ali Yunus diangkat menjadi imam masjid Al-Muwahiddin Bima pada tahun 1999. Dari masjid itulah H.Muhammad Ali Yunus sering mengisi ceramah dan menjadi guru doa dalam berbagai hajatan warga. Kadang juga dipercaya untuk menyembelih hewan ternak pada acara Idul Adha maupun hajatan-hajatan warga lainnya.

Pada suatu malam di tahun 2003, H.Muhammad Ali mengajak istrinya untuk shalat isya berjamaah. “ Tumben saja tuan guru mengajak saya shalat berjamaah dan tidak ke masjid raya. “ Urai Hj. Marjan. Ternyata ajakan itu merupakan ajakan terakhir sang suami. Menjelang shalat subuh,tiba-tiba Tuan Guru H.Muhammad Ali terjatuh dan tidak sadarkan diri. Selama empat hari dirawat di rumah sakit. “ Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, tiba-tiba beliau sadar dan menitipkan beberapa pesan. Pertama, seluruh kitab-kitab yang dibacanya hendaknya diserahkan kepada putera Tuan Guru KH. Said Amin, Muhammad Mutawali,MA.

Ada beberapa kardus buku-buku tafsir dan kitab yang diserahkan kepada Muhammad Mutawali,MA yang saat ini menjadi koleksi perpustakaan Al-Amin di kota Bima.Menurut Hj. Marjan, setidikitnya ada sepuluh judul buku dan kitab yang sering dibaca dan dipelajari Tuan Guru H.Muhammad Ali Yunus dan itulah yang direkap kembali oleh putera almarhum KH.Said Amin, Mutawali. Buku dan kitab tersebut yaitu :
1.    Nail Al Authar oleh Imam Asy Syaukani
2.    Tafsir Ibnu Katsir
3.    Subul As – Salam oleh Imam Alkahlani
4.    At Targhib Wa Tarhib oleh Almunziri
5.    Tarbiyah Al Aulad Fil Islam oleh Abdullah Nasih ulwan
6.    Al Fiqh Ala Al Mazahib Al Arba’ah, oleh Abdurrahman Al Jaziri
7.    Ushul Al Dakwah, A.Karim Zaidan
8.    Tafsir Ayat Ahkam oleh Imam Ash Shabuni
9.    At Tafsir Wa Al Mufassirun oleh Abul Yaqzan  Athiah Al Jaburi
10. Ad drasyah Asy Syariah Al Islamiyah oleh A.Karim Zaidan.

Kedua, tanah miliknya jika dijual kelak sebagiannya disumbangkan untuk masjid. Ketiga jika wafat, maka sebagai imam shalat jenajah adalah TG.H.Said Amin, yang membacakan Talqin adalah Tuan Guru H.Idris Jauhar dan yang memimpin doa adalah Tuan Guru H.Yasin Latif. H.Muhammad Ali Bin Yunus Sang ahli tafsir itu meninggal dunia pada tanggal 8 Agustus 2003 dan dimakamkan di pemakaman umum kelurahan Pane Kota Bima. 

Penulis : Alan Malingi
Sumber : Istri almarhum Hj. Marjan dan Muhammad Mutawali,MA )   

Catatan : Tulisan ini dipersembahkan untuk ensiklopedia Tokoh Agama Nusantara kerja sama dengan Kementrian Agama RI.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.