Tradisi Cafi Sari, Boru Dan Dore
Seiring
perkembangan agama islam pada periode awal masuknya islam di Bima pada abad
ke-17, dan perintah untuk melaksanakan Aqiqah, maka upacara dan tradisi Boru
dan Dore mulai dilaksanakan. Sebelum upacara Boru dan Dore, maka terlebih dahulu
dilaksanakan Cafi Sari yaitu membersihkan sari atau lantai setelah 7 hari
melahirkan dikandung maksud usaha awal
dilakukan oleh orang tua agar
sang bayi selalu menjaga kebersihan lahir bathin termasuk kebersihan
lingkungan. Tidak hanya itu, makna yang terkandung dalam ritual ini adalah pola
hidup bersih dan sehat mulai dari makanan, minuman, lingkungan, kebersihan
badan dan juga niat yang tulus dalam menjalani kehidupan dunia menuju akhirat. Boru atau mencukur rambut, merupakan sunah
Rasul, seperti khitan. Boru dilakukan oleh para ulama dan tokoh adat, dilakukan
secara bergilir. Selesai upacara boru, dilanjutkan dengan upacara Dore yaitu
meletakan telapan bayi di atas tanah yang disimpan dalam sebuah pingga bura (
Piring Putih). Boru dan Dore dilaksanakan setelah tujuh hari kelahiran bayi.
Rangkaian
upacara Cafi Sari, upacara Boru dan Dore selalu diiringgi dengan lantunan Ziki
Asrakal, Marhaban dan Barzanzi yang berisi pujian – pujian bagi Allah dan
Rasul. “ Selain itu rangkaian upacara adat itu selalu diawali dan diakhiri
dengan do’a, memohon kehadapan Allah SWT agar bayi bersama ayah ibu dan
keluarga selalu mendapat perlindungan dari Allah, SWT.” Tutur Alan Malingi,
salah seorang pemerhati budaya Mbojo. Pada
perkembangannya, Cafi Sari, Boru dan Dore terus dilaksanakan secara turun
temurun oleh masyarakat Bima. Ada yang melaksanakan secara sederhana dan cukup
dihadiri tetangga dan keluarga dekat. Ada juga yang melaksanakan secara
besar-besaran.
Persiapan upacara
diawali dengan penyiapan nasi kuning, pisang, beras yang ditumbuk dan dicampur
gula yang disebut Karodo, dua buah kelapa, untuk Cafi Sari, Gunting, piring putih dan tanah kering, kelapa
muda dan airnya untuk upacara Boru. Piring putih dan tanah kering untuk upacara
Dore, terop,kursi, makanan dan minuman untuk para undangan.
Cafi Sari
biasanya dilakukan oleh Sando Nggana atau dukun beranak pada pagi hari sekitar
pukul Sembilan pagi.Buah Kelapa, Nasi Kuning, Karodo,pisang disiapkan di atas
lantai lalu sando nggana memukul lantai. “ Pada zaman rumah panggung dulu,
biasanya si bayi diletakan di lantai bambu dan bambu dipukul oleh Sando Nggana.
Pada sore hari dilanjutkan dengan Boru
dan Dore. Boru dan Dore diawali pembacaan zikir Barjanji, Ziki Asrakah,
Marhaban dan Barzanzi yang berisi pujian – pujian bagi Allah dan Rasul.” Tutur Hj.
Saadiah asal kelurahan Sadia Kota Bima.
Selain itu
rangkaian upacara adat itu selalu diawali dan diakhiri dengan do’a, memohon
kehadapan Allah SWT agar bayi bersama ayah ibu dan keluarga selalu mendapat
perlindungan dari Allah, SWT.Sambil senandung zikir dilantunkan, Bapak si bayi
menggendong bayinya disusul oleh seseorang yang membawa kelapa muda yang masih
ada airnya dan gunting. Lalu secara bergiliranlah para tetua adat, tokoh
masyarakat menggunting beberapa helai rambut bayi dengan membacakan shalawat
Nabi sebanyak tiga kali lalu menggunting rambutnya dan sisa rambut tersebut
disimpan di dalam air kelapa muda. Demikian seterusnya sampai tujuh orang.
Itulah prosesi Boru yaitu mencukur.Selanjutnya secara bergiliran pula para
tetua meletakan kaki si bayi ke tanah di atas piring sampai tujuh orang tetua
dan tokoh yang hadir. Sampai selesai, dan alunan zikir pun selesai dan
dilanjutkan dengan doa.
Penulis : Alan
Malingi
Post a Comment