Kenapa Tenunan Bima Tidak Bermotif Manusia dan Binatang ?
Dalam memilih simbol dan gambar untuk dijadikan motif tenunan,
para penenun Bima tempo dulu berpedoman pada nilai dan norma adat yang Islami.
Sebagai gambaran jati diri atau kepribadian yang taat pada ajaran agamanya.
Mereka tidak boleh atau dilarang untuk memilih gambar manusia dan hewan guna
dijadikan motif pada tenunannya. Larangan itu mengacu pada Masa Kesultanan
(1640-1951), dilatarbelakangi oleh kekhawatiran masyarakat akan kembali ke
ajaran agama lama yang percaya bahwa pada gambar manusia dan hewan ada rokh dan
kekuatan gaib yang harus disembah.
Berdasarkan ketentuan adat, ragam hias yang
boleh dijadikan motif adalah motif bunga dan tumbuh-tumbuhan seperti bunga
satako(bunga setangkai) yang mengandung makna kehidupan masyarakat yang sejuk damai laksana rangkaian bunga
yang sepanjang waktu menbar aroma semerbak bagi lingkungannya., bunga samobo(bunga
sekuntum) mengandung makna pengharapan
masyarakat, agar para pemakai atau pengguna hasil tenunan memiliki akhlak mulia
bagaikan sekuntum bunga beraroma semerbak bagi masyarakat., kakando(rubung)
mengandung makna kesabaran dan
keuletan dalam menghadapi tantangan, seperti kakando yang mampu tumbuh di
tengah-tengah rumpun induknya yang lebat. dan Aruna ( nanas) dengan 99
buah sisik mengandung makna 99 sifat Allah SWT, pencipta alam semesta yang
selalu dipuji dan disembah oleh manusia sebagai hambaNya. Sesuai dengan
kelemahan dan keterbatasannya, manusia wajib memahami 99 sifat Allah SWT.
Sedangkan motif garis melambangkan Sikap tegas dalam melaksanakan tugas, sikap yang lazim
dimiliki oleh masyarakat Maritim. Motif geometris meliputi
Nggusu Tolu (Segi tiga) merupakan isyarat bahwa kekuasaan tertinggi
berada di tangan Allah SWT. Nggusu Upa(segi empat) Sikap hidup yang terbuka, berkomunikasi dengan
kaum pendatang dari berbagai penjuru.,Pado waji (jajaran genjang) Kehidupan
manusia berada dalam tiga tingkat, yang pertama berada diatas yang jumlahnya
terbatas, dan diatas mereka adalah Allah Yang Maha Tinggi yang dilukiskan
dengan sudut lancip. Tingkat kedua berada ditengah, jumlahnya lebih banyak. Dan
yang ketiga tingkat bawah, hampir sama dengan golongan atas dan lebih sedikit
dibanding golongan menengah.,dan Nggusu Waru ( segi delapan).
Pada masa lalu, suara alat tenun terdengar di setiap rumah
terutama di siang hari. Kampung-kampung yang dulu menjadi sentra tenun adalah
di Rabadompu, Ntobo, kampung Bara, Renda, Nata, Donggo Ele di sebelah tenggara
teluk maupun di Donggo Ipa di sebelah barat Teluk, di Sape, Wera dan sejumlah
kampung di Bima. Kini, suara alat tenun tidak lagi sebanyak dulu. Tetapi masih
bisa dijumpai di desa-desa dan di kampung-kampung pinggir kota Bima.
Penulis : Alan Malingi
Sumber : M.Hilir Ismail & Alan Malingi, Ragam Motif Tenun Bima-Dompu
Post a Comment