f Korban Rekayasa Politik - SEJARAHBIMA.COM | Mengupas Sejarah, Budaya dan Pariwisata

Header Ads

Korban Rekayasa Politik

Jamaluddin atau Jamaluddin Inayat Syah adalah Sultan Bima ke-4 yang memerintah antara tahun 1687-1696. Orang-orang Makassar sering memanggilnya dengan Alassa Jamaluddin. Mempersunting siti Fatimah Karaeng Tana-Tana putri Karaeng Bisei Puteri ( Cucu dari Sultan Hasanuddin Makassar). Sejak kecil Jamaluddin belajar ilmu agama pada Syekh Umar Al Bachsum, yang lebih dikenal dengan nama “Sekh Al Bantani”. Seorang ulama besar Mekkah yang sudah lama menetap di Banten membantu Sultan Ageng dalam penyiaran islam di Jawa Barat. Setelah Sultan Ageng dapat dikalahkan oleh Belanda, Syekh Umar Al bantani datang ke Bima. Selain memperdalam ilmu agama, Sultan Jamaluddin memperoleh pendidikan ilmu politik pemerintahan dari para pejabat istana.

Sultan Jamaluddin dikenal sebagai seorang yang fasih berbicara. Ide dan gagasannya disampaikan melalui untaian kalimat yang indah serta padat berisi. Para Pembesar Belanda sering kewalahan untuk menolak argumennya. Wajar apabila setelah mangkat, rakyat memberi gelar kehormatan dengan “ Ruma Ma Wa’a Romo” (Sultan yang membawa mulut) dalam artian Sultan yang fasih berbicara.

Pada awal pemerintahannya, Situasi politik Nusantara menguntungkan Belanda. Perlawanan yang dilakukan oleh Mataram, Trunojoyo dan Banten praktis sudah dilumpuhkan. Tetapi di bidang keuangan, Belanda mengalami kesulitan. Dalam menumpas perlawanan raja-raja nusantara, Belanda telah mengeluarkan biaya yang besar, disamping korban harta benda dan jiwa. Pada situasi demikian Belanda menghindari terjadinya perlawanan bersenjata. Satu-satunya cara yang tidak mengeluarkan biaya dan tenaga ialah dengan membujuk para Raja dan Sultan, agar mau mengakui politik monopoli dagang, melalui perjanjian kontrak dagang. Sultan Jamaluddin mengetahui masalah yang sedang dihadapi Belanda. Karena itu tetap melanjutkan perdagangan bebas seperti yang telah dilaksanakan sebelumnya. Pelabuhan Bima terbuka bagi seluruh bangsa, asalkan menghormati kedaulatan Bima. Para pedagang dari seluruh pelosok Nusantara, bahkan pedagang asing seperti Arab, Inggris, Cina dan Portugis diijinkan untuk berlabuh di pelabuhan Bima, tidak terkecuali pedagang Belanda.

Menghadapi sikap Jamaluddin, Belanda menyusun sebuah strategi. Pada tahun 1693, Sultan Jamaluddin berkunjung ke Dompu menjenguk permaisuri Sultan Dompu (bibinya) yang sedang sakit. Ketika berada di Dompu, bibinya meninggal dunia. Peristiwa itu dijadikan sumber fitnah oleh Belanda. Melalui kaki tangannya disebarluaskan berita bohong, bahwa permaisuri Sultan Dompu dibunuh oleh Sultan Jamaluddin. Tuduhan yang tidak masuk akal, mana mungkin Sultan Jamaluddin yang terkenal taat pada ajaran agama, membunuh bibinya yang sedang sakit.
Sultan Jamaluddin ditangkap dan diadili di Makassar pada tanggal 19 Agustus 1693. Setelah melalui proses pengadilan yang tidak jujur selama delapan hari, Sultan Jamaluddin dijebloskan dalam penjara di Benteng Fort Rotterdam Makassar. Setelah menjalani hukuman dua tahun, pada tanggal 30 Agustus 1695, dibawa ke Batavia, menjalani hukuman di penjara Batavia. Jamaluddin menempati ruangan sempit dan kotor yang sengaja disediakan untuk pejuang yang di anggap berbahaya. Di ruangan itu pula nanti pahlawan Nasional Diponegoro dipenjarakan, sebelum dibuang ke Sulawesi Utara kemudian dipindahkan ke Makassar. Penjara yang menjadi bukti sejarah perjuangan Sultan Jamaluddin terletak di Jakarta Kota. Sekarang sudah dijadikan museum Fatahillah. Sudah menjadi garis takdir, Sultan Jamaluddin dan Pangeran Diponegoro pernah menempati kamar penjara yang sama walau dalam kurun waktu yang berbeda. Keduanya masih memiliki hubungan darah, Diponegoro adalah cucu Sultan Nuruddin, berarti keponakan dari Sultan Jamaluddin.

Setelah setahun meringkuk di penjara Batavia, maka pada tanggal 15 Zulhijah 1107 H (6 Juli 1696 M). Sultan gagah perkasa itu kembali ke alam baqa. Jenazah dikebumikan di Tanjung Periuk Jakarta. Belanda sengaja merahasiakan berita kematian Sultan Jamaluddin. Istri bersama seluruh rakyat baru mengetahui berita duka itu tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 1699. Melalui prosedur yang sulit, permaisuri Siti Fatimah Karaeng Tana-Tana berhasilmengembalikan kerangka jenazah suaminya ke pangkuan Bumi Bima. Dimakamkan di Tolobali berdekatan dengan makam ayahnya Sultan Nuruddin dan kakeknya Abdul Khair Sirajuddin. 

Melalui perjuangan yang berat, dengan mengorbankan jiwa ranganya, Sultan Jamaluddin berhasil mewujudkan cita-citanya. Ia mampu mempertahankan kedudukan Kesultanan Bima sebagai pusat perdagangan bebas, pusat penyiaran islam dan sebagai pusat perjuangan melawan penjajah diwilayah Nusantara bagian Timur. Mengambil alih Peranan Makassar dan Ternate yang sudak kian lemah.
Penulis : Alan Malingi
Sumber : Profil Raja Dan Sultan Bima, M.Hilir Ismail & Alan Malingi 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.