Manusia Takut Hujan
Tentu tidak hanya kambing yang lari takut hujan. Sejak bencana
banjir bandang 21 dan 23 Desember 2016, syndrom takut hujan menghinggapi saya
dan mungkin juga seluruh warga kota Bima. Setiap hari grup Whats Ap Siaga
Bencana Bima Dompu dan postingan terkait prakiraan cuaca dikunjungi, diupdate
dan dibagikan. Tidak hanya itu, setiap saat semua mata menatap langit timur,langit
utara dan tenggara kota seraya berdoa di media Sosial maupun di luar media
Sosial " Ya Allah janganlah kasih turun hujan
hari ini. " ada juga yang berdoa "Ya Allah janganlah kasih deras
hujannya. Cukup segini aja. Ada lagi yang seperti ini." Ya Allah, pakaian
dan barang kami belum kering, jadi alihkanlah hujan ke tempat lain dulu. Mungkin
karena pemintaan mengalihkan hujan itu, Allah menurunkan banjir di Sape dan
dibeberapa titik lagi di Kota Bima. Masih banyak lagi untaian doa dan harapan
yang terlontar jika mendiung mulai menyelimuti langit timur. Bahkan nomor HP
dan facebook teman teman di kawasan Wawo sebagai kawasan Bogorbya Bima laris
manis dihubungi. "Bune haba ta ese re? ( bagaimana kabar di atas). Jika
dijawab " Ura Na e ke(hujan besar neh) maka mulailah kita panik.
Padahal Hujan adalah rahmat. Setiap tetesannya adalah sumber
kehidupan di muka bumi. Kita menjadi takut hujan sama halnya takut akan rahmat
Tuhan atas Bumi ini. Sebenarnya bencana yang terjadi bukan karena hujan, tetapi
alam sudah tidak nemiliki keseimbangan lagi. Hutan hutan telah gundul, daerah
resapan air telah banyak dibangun pemukiman, sungai sungai sudah menyempit,
Drainase kota yang tidak berfungsi optimal, prilaku kita yang membuang sampah
di sungai sungai dan keangkuhan serta kemaksiatan yang marak terjadi di kota
yang dulu menjadi basis islam di wilayah nusantara timur ini.
Bala dan bencana dalam perspektif budaya Mbojo hadir karena
kealpaan dan keangkuhan kita. Pada masa lalu, setiap memasuki musim hujan
maupun kemarau, para tetua menyerukan untuk Ngaha karedo dan Doa Dana. Anak
anakpun dikumpulkan dan karedo atau bubur dihidangkan di atas hamparan daun
plisang. Segala doa dipanjatkan semoga kampung halaman dan penghuninya
dijauhkan dari bencana. Tapi sekarang doa dana sudah tidak kita temukan lagi di
sudut sudut desa.Doa adalah kekuatan yang nelebihi kekuatan apapun dan menjadikan
kita tegar menghadapi cobaan dan bencana.
Kalau tidak salah, Kota Bima telah dicanngkan menjadi kota
Tangguh Bencana. Tapi ketika bencana datang kita semua panik. Penanganan
bencana dan tanggap darurat masih banyak menyisahkan persoalan mulai dari
koordinasi, manajemen distribusi logistik dan bantuan dan lain - lain persoalan
yang muncul di lapangan. Pemerintah Kota Bima, Walikota dan Wakil Walikota
beserta jajaranya telah dan sedang berupaya sungguh sungguh menangani bencana
ini. Saya dan tentunya semua kita berharap kedepan akan menjadi lebih baik
lagi. Bencana ini tentunya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk
berbenah dan bangkit menata dan membangun kota kita tercinta.
Penulis : Alan Malingi
Post a Comment