Jejak Sultan Nuruddin Di Cirebon
Tanah
Cirebon menyimpan kenangan sejarah bagi Sultan Bima ke-3 Nuruddin Abubakar Ali
Syah. Nuruddin adalah putera Sultan Bima ke-2 Abul Khair Sirajuddin dengan
permaisurinya Bonto Je’ne puteri Sultan Malikul Said Makassar. Nuruddin lahir
pada tanggal 29 Zulhijah 1061 H bertepatan dengan tanggal 15 Desember 1651.
Ketika berumur 16 tahun, Nuruddin membantu
perang Trunojoyo. Laskar Makassar dan Bima tiba di Madura pada tahun 1674 M.
Kehadiran mereka disambut gembira oleh Trunojoyo
bersama pengikutnya. Kahadiran laskar dari Nusantara bagian Timur itu membawa
angin segar bagi pasukan Trunojoyo. Kekuatan pasukan Madura, Makassar dan Bima
tidak mampu dihadapi oleh pasukan Amangkurat II. Pada tahun 1677 – 1679 Keraton
Mataram dapat dikuasai. Kedatangan pasukan Belanda yang dibantu oleh Arru
Palaka dan Kapten Yonker pada tahun 1679, berhasil membalik keadaan. Sejak itu
pasukan Madura, Makassar dan Bima dapat dipukul mundur.
![]() |
Makam Sultan Nururddin berdampingan dengan makam Ayahnya |
Walau
mengalami kekalahan di Jawa Timur, Sultan Nuruddin bersama laskarnya tidak
putus asa. Mereka berangkat ke Jawa Barat untuk meneruskan perjuangan melawan
Belanda. Laskar Bima dan Makassar bergabung dengan pasukan Sultan Ageng
Tirtayasa Banten. Perjuangan Sultan Nuruddin bersama dalam membantu Banten,
lagi-lagi mengalami kegagalan. Sultan Haji putera kandung dari Sultan Ageng
Tirtayasa berkhianat kepada ayahnya. Ia berpihak pada Belanda.
Pada
situasi yang tidak menguntungkan itu, Sultan Nuruddin bersama 19 anggota laskar
ditangkap oleh Belanda, ketika sedang menuntut ilmu agama di pesantren milik
anak cucu Syrif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon. Kemudian ditawan di Batavia.
Sumber lain menyebutkan bahwa jumlah pasukan Nuruddin yang ditawan Belanda
sebanyak 230 orang. Tempat tawanan laskar itu, sampai sekarang dikenal dengan
“Tambora “ berada di Jakarta Kota Wilayah Jakarta Barat. (Hilir Ismail, 98 )
Atas
persetujuan teman-teman santri Sunan Gunung Jati, Sultan Nuruddin bersama
anggota laskar berhasil melarikan diri dari tawanan Belanda. Kemudian kembali
ke Bima. Ketika meninggalkan Cirebon, Nuruddin mendapatkan sejumlah cinderamata
dan membawa Payung Kerajaan yang berwarna kuning yang dikenal dengan Paju Monca
dan Bendera Kerajaan Bima. ( Abdullah Tayib, 158 ). Pada tahun 1681 Nuruddin
dibebaskan. Pada tahun 1682 Nuruddin dan Veteran perang Trunojoyo kembali ke
Bima bersama Syekh Umar Al Bantami atau yang dikenal dengan Sehe Banta.
Nuruddin dilantik menjadi Sultan Bima ke-3 pada tahun 1682. Sultan Nuruddin
mangkat pada tanggal 13 Ramadhan 1099 H( tanggal 22 Juli 1687) dan dimakamkan
di dekat makam ayahnya di kompleks Makam Tolobali dan diberi gelar Ma Wa’a Paju
(Pembawa Payung Kerajaan ).
Sumber
:
1. Musimin Hamzah, Ensiklopedia Bima
1. Musimin Hamzah, Ensiklopedia Bima
2. Abdullah Tayib, Sejarah Bima Dana Mbojo
3. Noordyun, Makassar And Islamisation Of Bima
4. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima Dalam Sejarah Nusantara
5. Hilir Ismail & Alan Malingi, Profil Raja Dan Sultan Bima.
Post a Comment