Sejarah Dan Versi Nggusu Waru
![]() |
Lare-Lare atau pintu gerbang Asi Mbojo sebagai simbol Filosofi Nggusu Waru |
Nggusu Waru adalah delapan visi dan dimensi kepemimpinan bagi
manusia Bima. Visi itu adalah kristalisasi nilai yang tumbuh dan berkembang di
tengah masyarakat sejak berabad silam. Membaca buku Penguatan Pendidikan
Karakter Bebasis Maja Labo Dahu Dan Nggusu Waru Karya Drs. H.Anwar Hasnun, saya
temukan betapa kayanya filosofi kehidupan Orang Bima sejak berabad abad silam.
Konsepsi nilai Nggusu Waru atau delapan sendi kepemimpinan bagi manusia Bima
ternyata telah lahir pada era ncuhi dan era pra islam. Meskipun secara
redaksional berbeda, namun makna dan nafasnya tetap sama.
Almarhum Lalu Massir Abdullah yang diwawancari Anwar Hasnun
pada tanggal 15 September 1995, mengemukakan bahwa sejak era ncuhi dan kerajaan
konsep kepemimpinan Ma Nggusu Waru telah ada dengan anjuran dan ajakan meniru
delapan sifat alam yaitu tabe'a dana atau sifat tanah yang sabar, tabe'a oi
atau sifat air yang dingin dan sejuk, tabe'a afi atau sifat api yang panas kalau
salah dimanfaatkan akan membahayakan, tabe'a angi atau sifat angin yang
menyejukkan, tabe'a moti atau laut yang menerima apa saja, tabe'a ura atau
sifat hujan membasahi bumi tanpa pamrih, tabe'a liro atau sifat matahari muncul
di siang hari dan tabe'a wura atau sifat bulan muncul pada malam hari. Sejalan
dengan Massir, saya juga mengupas satu untaian kalimat dengan judul Meneladani
Delapan Sifat Alam yang memiliki kesamaan nilai dengan Nggusu Waru yaitu Tanah,
air, api, angin, laut, bulan, matahari dan langit. ( Baca juga Meneladani
Delapan Unsur Alam).
![]() |
Menara berbentuk Nggusu Waru pada mihrab Masjid Sultan Muhammad Salahuddin Bima |
Masih menurut Massir Abdullah, dimensi Nggusu Waru setelah
islam berubah kepada sifat kepribadian manusia sesuai tuntunan Alquran dan
hadist yaitu Taqwa, londo dou atau keturunan, loa ro bade atau pengetahuan,
ruku ro rawi atau tingkah laku, nggahi ro eli atau tutur kata, mori ra woko
atau kehidupan, Mbani ro disa atau keberanian dan Toa atau taat.Nggusu Waru menurut M.Saleh Abdullah yang diwawancarai 12
September 1995 adalah Taqwa, Ntau Ilmu atau berilmu, Taho Parange atau sopan
santun, Fiki Dou Ma Ore atau memikirkan orang banyak, Londo ro mai atau
keturunan, Mori Ra Woko atau kehidupan, sabua nggahi sabua rawi atau satu kata
dan perbuatan dan Mbani ro disa atau keberanian.
![]() |
Mahkota Kerajaan Bima berbentuk Nggusu Waru |
Jawharat Al Ma rif ditulis oleh Haji Nurhidayatullah Al
Mansyur Muhammad Syuju udin pada akhir April 1882. isi Jawharat Al Ma'rif
berupa petunjuk, perintah dan larangan kepada sultan dan pembesar negeri sesuai
tuntunan Alquran dan Sunnah dan di dalamnya memuat dasar dasar nilai
sebagaimana tertuang dalam Nggusu Waru.Serpihan kenangan perjalanan panjang filosofi Nggusu Waru
kini masih dapat kita lihat baik dalam bentuk bangunan, motif tenun, motif
ukiran hingga motif nisan. Di periode awal kesultanan Bima, filosofi Nggusu
Waru sangat kuat hingga makam para pembesar pun bermotif Nggusu Waru seperti
yang ada di Dana Taraha, pulau Kambing, makam Tolobali dan sebaran makam di
sepanjang Ule hingga Kolo Kota Bima.
Nggusu Waru adalah konsep ide dan gagasan cemerlang dari
leluhur Dana Mbojo bahwa pemimpin dan kepemimpinan itu harus memenuhi delapan
butir sebagaimana yang tertuang dalam Nggusu Waru. Seorang pemimpin yang
memenuhi delapan kriteria Nggusu Waru adalah luar biasa, namun di tengah godaan
zaman hedonis saat ini cukuplah pemimpin yang memenuhi empat unsur yaitu taqwa,
Beilmu pengetahuan, merakyat dan konsisten.
Penulis : Alan Malingi
Kontak WA : 08123734986
Post a Comment