Dou Woro
Masyarakat Bima
memberikan label " Dou Woro " untuk arwah sanak keluarga yang telah
meninggal dunia. Entah kapan istilah ini ada, tetapi Dou Woro terus hidup dalam
memori kolektif masyarakat. Seiring dengan peningkatan pemahaman terhadap
ajaran islam istilah atau label Dou Woro sudah mulai pudar, namun di beberapa
desa dan tempat label ini masih saja ada. Pada masa lalu, membakar lampu dari
biji jarak yang dikenal dengan" Ilo Peta " seperti ini sudah
mentradisi di kalangan masyarakat Bima terutama tiga hari menjelang idul Fitri.
Nenek saya menceritakan bahwa tujuh hari menjelang idul fitri para Dou Woro
mendatangi dunia. Empat hari berkunjung ke Asi Mbojo dan tiga hari ke rumah
para sanak keluarganya untuk bersilturahmi.
Oleh karena itulah,
maka dinyalakanlah Ilo Peta untuk menyambut mereka. Tradisi Ka' a Ilo atau
membakar lampu dari buah pohon Mantau dan biji jarak menjelang idul fitri ini
adalah nostalgia masa silam bagi saya dan mungkin juga teman teman yang se
zaman. Ka a Ilo biasa dilakukan setelah selesai magrib hingga waktu isya dan
mencapai puncaknya pada H - 1 idul fitri. Kini tradisi Ka a Ilo menyambut Dou
Woro sudah jarang sekali ditemukan. Hal itu mungkin disebabkan peningkatan
pemahaman masyarakat terhadap Ajaran Agama Islam dan mungkin juga karena
modernisasi kehidupan. Tetapi yang jelas, masyarakat Bima saat ini sangat
kritis terhadap hal hal yang bertentangan dengan Alquran dan Sunnah.
Berkembang pula fersi
lain dari maksud Ka a Ilo atau menyalakan lampu itu adalah untuk menyambut
kedatangan malaikat melepas kepergian bulan suci Ramadan dan kedatangan
Lailatul Qadar. Apalagi pada masa lalu tidak ada sarana listrik, maka Ilo Peta
menjadi penerang kampung menyambut kedatangan para malaikat. Ilo Peta adalah
khasanah ramadan di tanah Bima tercinta.
Penulis : Alan Malingi
Post a Comment