Misteri Rade Muma
Antara September hingga Oktober 2018, saya intens berkomunikasi dengan saudara Ayus
Maliagung, salah seorang pemerhati sejarah dan budaya Sumbawa. Komunikasi kami
atas petunjuk yang diberikan oleh salah seorang kerabat kesultanan Sumbawa Pak
Haji Ace atau Pak Hasanuddin.
Di desa Mata kecamatan Tarano Sumbawa,terdapat sebuah makam kuno yang oleh
warga sekitar disebut " Rade Muma". Dari penuturan warga di sana
bahwa pemilik makam tersebut adalah salah seorang bangsawan Bima yang disapa
Muma dan makam makam di sekitar adalah makam para pengikut Muma. Bahkan
beberapa warga mengklaim bahwa mereka adalah keturunan Muma itu. Demikian
menurut hasil komunikasi saya dengan Ayus. Ayus pun mengirimi saya beberapa
foto dan video ini. Posisi makam ada di sebuah bukit kecil di desa Mata dan
berada di areal pemakaman umum setempat.
Siapakah Muma?. Akhirnya saya ingat hasil diskusi saya dengan
Adji Nurdin, mantan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bima bahwa Makam Raja
Bima terakhir yaitu Salisi yang bergelar Mantau Asi Peka ada di desa Mata dekat
Nanga Tumpu. Saya penasaran dengan pernyataan tersebut dan mencari referensi
dalam buku buku sejarah Bima. Abdullah Tayib, BA mengungkapkan bahwa pada bulan
Muharram 1050 H atau 1640 M, Makassar mengirim ekspedisi ke 3 ke Bima. Kontak
fisik terjadi antara pasukan Salisi yang dibantu Belanda dengan lasykar
gabungan dari Gowa, Tallo, Bone dan lasykar Bima. Akhirnya peperangan
dimenangkan oleh Lasykar gabungan itu dan Lasykar Salisi mengundurkan diri ke
pedalaman. Selanjutnya Manuru Bata( Sirajuddin) dan Manuru Suntu( Jalaluddin)
mengejar Salisi ke Dompu hingga sampai di desa Mata. " Di sana Raja Salisi
dibiarkan menyendiri bersama sisa lasykarnya dan meninggal di Mata. " (
Abdullah Tayib, BA Sejarah Bima Dana Mbojo hal. 114).
Pertempuran perebutan tahta antara Salisi dengan Putera Mahkota
Abdul Kahir berlangsung lebih dari 20 tahun lamanya. Salisi yang dibantu
Belanda sangat kuat dan terbukti tiga kali ekspedisi yang harus dikirim oleh
Gowa untuk menaklukan Salisi dengan kekuatan puluhan perahu lasykar maupun
perahu perbekalan. Kekuatan Angkatan Laut Bima Pabise dan Pasukan Kavilary atau
Jena Jara dibawah kekuasaan Salisi. Sedangkan Pasukan Angkatan Darat atau Suba
di bawah kekuasaan Panglima perang Rato Waro Bewi yang berpihak kepada Abdul
Kahir. Di ujung drama perebutan kekuasaan itu berakhir dengan menyingkinya
Salisi bersama pasukannya ke Mata. Dia tidak dibunuh tetapi dibiarkan saja di
Mata. Menurut saya akhir drama ini cukup beradab, Salisi tidak dibunuh karena
antara Salisi dengan Abdul Kahir, Manuru Suntu,Manuru Bata dan Bumi Jara adalah
paman dan para keponakan.
Selanjutnya BO Sangaji Kai mengungkapkan bahwa perebutan tahta
kerajaan ini terjadi pada waktu meninggalnya Raja Mantau Asi Sawo.Raja tersebut
mempunyai dua orang anak yaitu Jena Teke dan La Ka i, namun mereka masih muda,
sehingga Tureli Nggampo( Ruma Bicara) Salisi memegang penerintahan sebagai
gantinya. Karena ingin terus berkuasa, Salisi dengan bantuan Bumi Luma Rasanae
membunuh Jena Teke dan dibakar hidup hidup di padang rumput Wera sehingga
diberi gelar Mambora Di Mpori Wera. Sasaran selanjutnya adalah Abdul Kahir atau
La Ka i, namun berkat bantuan rakyat dan panglima Rato Waro Bewi, dan lasykar
gabungan Gowa, Tallo dan Bone akhirnya Abdul Kahir selamat dari misi pembunuhan
Salisi dan kembali merebut tahta dan menjadi Sultan Bima pertama yang kini
makamnya di bukit Dana Taraha kota Bima. ( Bo Sangaji Kai, Henry Chambert Loir
dan SitI Maryam Salahuddin ( 66 -67).
Nah, kembali ke Rade Muma. Ayah Ayus Maliagung adalah seorang
penilik kebudayaan di Sumbawa dan pernah melakukan penelitian makam makam di
Mata hingga ke Bima. Namun sayang, setelah wafat, dokumen dokumen hasil
penelitian itu dibakar sehingga jejak hasil pebelitian itu kini tidak ada lagi.
Desa Mata dihuni oleh orang
orang campuran Bima dan Sumbawa. Bahasa sehari hari mereka adalah Bahasa Bima
di samping bahasa Sumbawa dan Bahasa Indonesia. Mungkinkah Rade Muma itu adalah
Makam Raja Salisi?. Sepertinya perlu penelitian lebih lanjut. Tim Makembo akan
melakukan ekspediai ke Mata untuk mencari benang merah serpihan sejarah Bima
ini.
Post a Comment