Nggahi Rawi Pahu
Filosofi
Nggahi Rawi Pahu telah menjadi motto dari kabupaten Dompu dan menjadi icon
daerah ini sehingga dikenal dengan “
Bumi Nggahi Rawi Pahu “. Filosofi ini tentu tidak lahir secara spontan,
tetapi bersumber dari pengalaman hidup masyarakat Bima dan Dompu sejak lama.
Tipikal masyarakat yang pekerja keras adalah sumber inspirasi lahirnya filosofi
ini di kalangan masyarakat. Nggahi berarti berkata atau berbicara. Rawi
berarti bekerja. Pahu berarti wajah atau
dalam filosofi ini berarti mewujudkan atau mengimplementasikan. Secara harfiah
Nggahi Rawi Pahu berarti kata, perbuatan dan rupa. Tetapi secara denotatif
ungkapan ini berarti menyatukan kata dengan perbuatan atau mewujudkan antara
kata dengan perbuatan. Menurut Anwar Hasnun, ungkapan ini mengandung petuah
agar kita tidak hanya pintar berbicara, tetapi apa yang dibicarakan harus
diwujudkan sesuai kenyataan. Nggahi Rawi Pahu juga mengandung tekat, berbuat
dan berusaha.
Filosofi
Nggahi Rawi Pahu adalah perwujudan dari sikap konsisten dalam hidup dan kehidupan
ini. Sejalan dengan pesan Nggahi Rawi Pahu, para tetua di Bima dan Dompu juga
menitipkan satu untaian kalimat “ Renta ba lera, kapoda ba ade, karawi ba weki.
“ Renta ba lera berarti diucapkan oleh lidah. Kapoda ba ade berarti dikuatkan
oleh hati. Karawi ba weki berarti dikerjakan oleh raga. Hal itu berarti setiap
yang diucapkan atau diikrarkan oleh lidah, kemudian dkuatkan oleh hati dan
selanjutnya dikerjakan oleh tubuh. Inilah gambaran menyatunya kata dengan
perbuatan. Tetapi dalam kehidupan ini, kita menyaksikan banyak orang yang
begitu mudah mengumbar kata, namun tidak sesuai kenyataan. Banyak orang yang
berjanji dan berkampanye di mimbar-mimbar namun apa yang diucapkannya itu tidak
sesuai dengan perbuatan.
Suryadin,
SS. M.Si, pernah menulis tentang “ Nggahi Wari Pahu “, atau berbicara kemudian
berpaling muka. Kata dan janji hanya sebatas di mimbar-mimbar pidato atau
kampanye, tetapi tdak diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Dalam pergaulan
hidup ini, kita dapat menyaksikan betapa banyak orang yang terjerat dan
terjebak dengan ucapannya sendiri.
Misalnya dia melarang orang untuk melakukan riba, tetapi dia dan keluarganya
justru pelaku riba. Inilah salah satu contoh setelah berkata berpaling muka.Dengan
kata lain, ajakan itu hanya sebatas
seremonial tetapi tidak diwujudkan dalam aksen keseharian.
Ada
juga ungkapan yang tidak sejalan dengan Nggahi Rawi Pahu yaitu Nae Gamba Tiwara
Pahu. Nae berarti besar. Gamba berarti gambar. Tiwara berarti tidak ada. Pahu
berarti rupa. Na;e gamba tiwara pahu berarti besar gambar tidak ada rupa.
Ungkapan ini menjadi gambaran seseorang yang banyak berbicara atau mudah
berbicara, tetapi tidak ada rupanya. Dalam pergaulan hidup ini kita sering
mengamati orang orang seperti ini. Banyak berbicara dan cenderung sombong serta
bangga, tetapi tidak berbuat. Sejalan dengan ungkapan ini, saya juga sering
mendengar “ Nae gamba to’i layar artinya besar gambar tetapi layarnya kecil.
Ungkapan lain yang sering kita dengar di masyarakat Bima adalah “ Ese Ngemo Awa
Ntu’u kai. Ese berarti tinggi. Ngemo berarti terbang. Awa berarti rendah. Ntu’u
Kai berarti tempat hinggapnya. Ese Ngemo Awa Ntu’u Kai berarti tinggi terbang
tetapi rendah tempat hinggapnya. Ungkapan ini menggambarkan orang yang tinggi
angan atau tinggi ucapan, tetapi tidak terbukti.
Nggahi
Rawi Pahu adalah ungkapan yang berisi tekat yang kuat untuk mewujudkan apa yang
diikrarkan dengan sikap dan perbuatan. Jika dicermati secara mendalam, ungkapan
ini sangat berat dan menantang kita untuk senantiasa bersikap konsisten terhadap
apa yang kita ungkapan dan kita wujudkan. Menyatukan kata dengan perbuatan
tidaklah mudah karena banyak tantangan yang kita hadapi setelah kita
mengucapkan dan meneguhkan dengan niat. Tetapi ciri kemuliaan seseorang adalah
bagaimana dia mampu menyelaraskan antara kata dengan perbuatan sehingga menyatu
dalam derap kehidupannya.
Mari
kita berjuang dan berusaha untuk menjadi insan yang Nggahi Rawi Pahu....!
Post a Comment