Kepribadian Sang Hawo
![]() |
Kunjungan Presiden Soekarno ke Bima pada tahuin 1951 |
Beberapa
tokoh yang saya wawancarai tentang peristiwa Nika Baronta ( Kawin Berontak )
pada zaman pendudukan Jepang di Bima selalu menyebut sosok Sultan Muhammad
Slaahuddin dengan " Hawo" yang diartikan sebagai naungan atau
pelindung. Hawo adalah sebuah ungkapan yang biasanya diikuti oleh kata Ninu
atau bayangan sehingga ungkapan itu menjadi Hawo Ra Ninu yang berarti naungan
dan bayangan yang selalu ada di kenangan dan hati rakyat yang dipimpinnya.
Disamping Hawo ra ninu, ada juga ungkapan yang disematkan kepada para pemimpin
yaitu " Bune angi labo ro' o yaitu seperti angin dan daun. Kemana angin
berhembus, di situlah daun mengikutinya. Demikianlah perumpamaan kepatuhan
rakyat kepada pemimpin dan kewibawaan serta kebijaksanaan yang lahir dari titah
sang pemimpin.
Dalam Kajian Sejarah yang digelar
Mbojoklopedia dan disponsori oleh berbagai komunitas seperti Alamtara Institut,
Makembo, kampung media dan yayasan Samparaja di Asi Mbojo, 19 Januari 2019 saya
nemaparkan tentang sosok Sultan Muhammad Salahuddin baik dari hasil testimoni
para pelaku sejarah maupun beberapa literatur yang saya baca seperti buku
Laksana Awan karya Muslimin Hamzah, Biografi Sultan Muhammad Salahuddin. Bima
tahun 1945-1950 karya Prof. Dr.Imran Ismail.MS,Disertasi Dr. Muslimin Effendy
dengan judul Dou Ruma Labo Dana dan literatur lainnya.
Dari sumber lisan maupun tertulis itu, saya
mengemukakan beberapa sikap kepahlawanan yang dimiliki Sang Hawo yaitu sebagai
Bapak Pendidikan agama dan pendidikan moderen di Bima, tokoh toleransi dan
inklusif di Bima, tokoh rekonsilisasi, penulis, ulama, sponsor dan pendiri
organisasi pergerakan, Nasionalis sejati dan tokoh kesetaraan Jender.
Sultan Muhammad Salahuddin. adalah tokoh yang
memegang peranan penting di abad 20 dimana pada masa kepemimpinannya terjadi
perjuangan fisik dan organisasi menuju pintu gerbang kenerdekaan Indonesia dan
masa -masa yang krusial dalam mempertahankan kemerdekaan serta transisi
bubarnya kesultanan Bima akibat proklamasi dan pembentukan daerah daerah
Kabupaten di wilayah NKRI. Negara dan bangsa ini harus membayar mahal kerelaan
Sang Hawo untuk melepaskan dinasti dan kekuasaan yang digenggam selama berabad
abad lamanya dan meleburkan diri dalam NKRI.
Di masanya, Sultan Muhammad Salahuddin bersama
Perdana Menteri Abdul Hamid banyak mendirikan sekolah sekolah baik sekolah
agama maupun sekolah moderen. Di masanya organisasi politik, sosial, organiasi
kepemudaan, organisasi wanita tumbuh bagai jamur di musim hujan. Organisasi itu
adalah wadah perjuangan menuju Indonesia merdeka. Di masanya, gereja gereja pun
dibangun dan tidak dilarang oleh Sang Hawo karena untuk kepentingan ibadah
ummat nasrani termasuk guru guru yang beragama kristen yang diundangnya untuk
mengajar pengetahuan umum di Bima seperti HBS Yuliance yang keturunannya masih
tinggal dan beranak pinang di tanah Bima. Di masa nya, pelajar pelajar
diberikan bea siswa untuk melanjutkan study ke Singaraja, Jawa dan bahkan ke
Tanah Suci Makkah. Sebagai penulis dan ulama, Sang Hawo sering menulis naskah
khutbah Jumat dan menyunting kitab kitab agama islam seperti Nurul Mubin yang
disuntingnya dan diterbitkan oleh Penerbit Syamsiah Solo padah tahun 1933 dan
1942. Atas dasar itulah, Sang Hawo mendapat gelar Ma Kidi Agama, karena di
masanya, islam benar benar ditegakkan.
Ketika dilantik menjadi Jeneli Donggo pada
tahun 1908, Sang Hawo tampil sebagai Pendamai dan tokoh rekonsiliasi sehingga
perang Kala dapat diredam dengan merangkul La Ntehi dan Ncahu Sami’u sebagai
pimpinan perlawanan terhadap kesultanan Bima dengan Belanda. JIwa nasionalis
Sang Hawo tidak diragukan.Hal itu dibuktikan dengan maklumat tanggal 22
November 1945 yang menyatakan bahwa Kerajaan Bima adalah suatu daerah istimewa
yang berdiri di belakang Republik Indonesia. Meskipun keistimewaan Bima tidak
pernah diperhatikan sebagaimana Aceh dan Yogyakarta hingga saat ini.
Jiwa nasionalis itu pula dikimandangkan ketika
Sang Hawo menyampaikan pidato dihadapan Bung Karno pada saat berkunjung ke Bima
tahun 1951 bahwa proklamasi dan NKRI harus dijunjung tinggi dan dipertahankan.
Dari serangkaian fakta kepahlawanan Sang Hawo
itu, maka sudah selayaknya beliau dianugerahi PAHLAWAN NASIONAL Pada Tahun 2019
Mari kita satukan langkah.Rapatkan barisan untuk perjuangan ini......!
Notes : Kajian Sejarah dipandu oleh Fahru Rizki Dibuka
oleh Imam Evimipmewakili
Alamtara Institute.Narasumber Alan Malingi Dewi Ratna
Muchlisa dan Closing Stetemen oleh Dr. Syukri Abubakar ..
Turut hadir pula Kadis Sosial Kabupaten Bima.Para dosen dan mahasiswa serta
komunitas budaya di kota dan kabupaten Bima.
Penulis : Alan Malingi
Post a Comment