f Sentuhan Tasawuf Dalam Syair Dan Pantun Bima - SEJARAHBIMA.COM | Mengupas Sejarah, Budaya dan Pariwisata

Header Ads

Sentuhan Tasawuf Dalam Syair Dan Pantun Bima


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan Kedua Tahun 1991, tasawuf didefiniskan sebagai ajaran atau cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.  Tasawuf pada mulanya adalah bagian dari ajaran zuhd dalam islam yaitu lebih berkonsentrasi dalam pendekatan diri kepada Allah SWT dengan ketaatan dan ibadah. Dalam ajaran tasawuf, ada tiga unsur dalam diri manusia yaitu: ruh, akal, dan jasad. Kemulian manusia dibanding dengan makhluk lainnya adalah karena manusia memiliki unsur ruh ilahi. Ruh yang dinisbahkan kepada Allah. SWT. Ruh Ilahi  menjadikan manusia memiliki sisi kehidupan rohani yang dapat diistilahkan dengan makna tasawuf.
Aliran zuhud pada akhir abad ke I (permulaan abad ke II) merupakan cikal bakal lahirnya ajaran tasawuf dalam dunia islam. Pada abad I Hijriyah lahirlah Hasan Basri seorang zahid pertama yang termashur dalam sejarah tasawuf. Hasan Basri lahir di Mekkah tahun 642 M, dan meninggal di Basrah tahun 728M. Ajaran Hasan Basri yang pertama adalah Khauf dan Rajah’ mempertebal takut dan harap kepada Tuhan, setelah itu muncul guru- guru yang lain, yang dinamakan qari’ , mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohanian di kalangan umat muslim.
Menurut Abu Al-Wafa’ Al-Ganimmi At-Taftazani (peneliti tasawuf) dalam bukunya yang berjudul Madkhal ila At-Tasawwuf (Pengantar Tasawuf Isalm), sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar dal;am bukunya yang berjudul akhlak Tasawuf, menurutnya tasawuf mempunyai lima ciri yaitu, moral,pemenuhan fana’ (sirna) dalam realitas mutlak,Pengetahuan intuitif langsung,timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah dalam diri seorang sufi karena tercapainya maqamat (maqam-maqam atau beberapa tingkatan), dan penggunaan simbol-simbol pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat.
Di Indonesia, tasawuf berkembang seiring proses islamisasi yang terus menerus dilakukan sejak era kerajaan Islam Pasai. Kawasan Pasai menjadi pusat penyiaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara Pulau Jawa. Perkembangan Islam di tanah Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali Songo atau Wali Sembilan. Sebutan ini sudah cukup menunjukkan bahwa mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai derajat “wali”. Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam, melainkan mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. Karena posisi itu, mereka mendapat gelarSusuhunan yang biasa disebut Sunan. Dari peranan politik itu, mereka dapat “meminjam” kekuasaan sultan dan kelompok elite keraton dalam menyebarkan dan memantapkan penghayatan Islam sesuai dengan keyakinan sufisme yang mereka anut. Tokoh-tokoh tasawuf Indonesia yang terkenal adalah Hamzah Al-Fansuri Syamsuddin Al-Sumatrani  Nuruddin Ar-Raniri  Abdur Rauf as-Sinkili Yusuf al-Makasari.
Belum ada catatan yang secara detail mengungkapkan tentang kehadiran tasawuf di Bima, tetapi jika dilihat dari penyebaran sastra lisan dalam bentuk peribahasa, ungkapan, pantun dan syair, dapat diketahui bahwa aliran tasawuf masuk dan berkembang di Bima beriringan dengan perkembangan agama islam dan keberadaan kesultanan Bima sejak abad ke -17 Masehi. Penulis memperkirakan bahwa ajaran taswuf berkembang pesat pada periode awal kesultanan Bima yang dibuktikan dengan penamaan mushaf Alquran Nontogama dan La Lino pada masa pemerintahan Sultan Aalauddin Muhammad Syah (1731-1742), dimana imam kesultanan Bima saat itu adalah Syek Subuh.
Nontogama berasal dari dua kata yaitu Nonto dan Agama. Nonto berarti titian atau jembatan atau jalan. Sedangkan Gama adalah agama. Jadi Alquran merupakan titian atau jembatan menuju agama. Dengan Alquran, manusia dapat mengenal ilmu agama dan menjadi jalan petunjuk menuju Sang Khalik. Demikian pula halnya dengan La Lino. dari segi etimologi, Lino berarti membasahi atau mengairi. Kata “Lino” dalam pengertian Bima berarti tumpah ruah, memenuhi dan menaungi. Pada intinya Lino adalah ungkapan yang menjurus kepada air dan hamparan samudera yang luas. Sedangkan kata awal La lebih tertuju pada orang, atau dalam bahasa Indoensia identik dengan “ Si”. Misalnya La Ahmad ( Si Ahmad), La Abas(Si Abas) dan lain-lain.
Muslimin Hamzah mengemukakan, La Lino merupakan  bagian dari ekspresi sufistik dan tasauf yang berkembang pesat di Bima pada abad 17 M. Menurut para sufi, syariat adalah jalan menuju sumber air. Jasmani manusia dan seluruh mahluk hidup membutuhkan air untuk kelangsungan hidupnya. Ruhaninya pun membutuhkan air kehidupan. Alqur’an menguraikan seandainya segala pepohonan yang ada di muka bumi ini dijadikan kalam, dan lautan ditambah tujuh lautan lagi dijadikan tintanya, tak aka nada habisnya kalimat Allah itu. Sungguh Tuhan Maha Perkasa, Maha bijaksana (QS.31: 27).
Sentuhan Tasawuf sangat kental dalam berbagai petuah leluhur masyarakat Bima dan Dompu baik dalam bentuk peribahasa, ungkapan, syair, pantun dan senandung. Dalam pengamatan saya, sekitar enam puluh porsen petuah –petuah yang mengandung nilai-nilai agama  dipengaruhi oleh ajaran-ajaran tasawuf yang juga berkembang pesat seiring perkembangan  islam di tanah Bima.
Anwar Hasnun mengelompokkan pantun Bima yang khusus bernuansa keagamaan ke dalam 9 kelompok pantun yaitu pantun berisi tentang ketuhanan, kematian, shalat, naik haji, surga dan neraka, penyesalan, siksa kubur, akhirat dan pendidikan. Di samping 9 kelompok itu, Anwar Hasnun juga mengelompokkan pantun percintaan, kejantanan hati dan aspek-aspek lainnya yang terurai secara terstruktur dalam buku Struktur Dan Isi Pantun Bima-Dompu.
Tentang keberadaan Tuhan, para tetua di Bima dan Dompu sering melontarkan pantun yang syarat dengan sentuhan tasawuf seperti :
Ruma Ma Singgili Wara
Nakidi di ncai ma nira
Nggaliku adana ma loa na eda
( Tuhan yang tidak kelihatan ada )
Berdiri di jalan yang terang
Jarang Hamba-Nya yang dapat melihat )
Syair di atas memberikan pembuktian bahwa Tuhan tidak bisa dilihat, tetapi Dia pasti ada. “ Nggaliku adana ma loa na eda “(Jarang Hamba-Nya yang dapat melihat) berarti ada orang yang dapat melihat dan bertemu RabNya, yaitu orang-orang yang bertaqwa dengan sebenar – benarnya taqwa dengan menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya.
Tentang kematian yang penuh misteri, telah lama berkembang peringatan itu dalam syair dan pantun Bima seperti berikut ini :
Nahu ra kidi ku di sagili ala
Ntandaku maina made
Ncoki na made daraka bae kai ade
( Aku berdiri di padang yang luas
Memandang kematian itu datang
Ternyata kematian itu tidak diketahui datangnya )
Berkaitan dengan amalan shalat, banyak untaian syair dan pantun yang dituturkan dan menjadi salah satu bukti sentuhan-sentuhan sufistik dalam tata pergaulan dan tradisi tutur masyarakat Bima-Dompu.
Indo au warakai sambea
Di ma teta nawasu ma tipu
Simpana salama ncai dunia ahera
(Adanya shalat
Untuk menahan nafsu dan amarah
Agar selamat dunia akhirat)
Shalat adalah tiang agama. Shalat menjadi tameng dari perbuatan keji dan mungkar. Untuk itulah, maka shalat merupakan kewajiban yang tidak dapat ditunda-tunda, apalagi tidak dilaksanakan. Bagi para sufi, shalat adalah obat penenang yang tiada bandingannya. Shalat adalah jalan untuk bertemu dengan Sang Kekasih Allah SWT.
Tentang kesucian ibadah haji, telah diingatkan oleh para tetua di Bima dan Dompu dengan untaian pantun sebagai berikut :
Indo au wara kai lao haji
Lao paki karaso dosa ara rasa
Simpana horu ku ese dana hara
(Adanya haji
Pergi membuang dan membersihkan dosa yang ada di kampung
Agar mendapat perlindungan di tanah haram )
Adanya kajian-kajian tentang hidup dan mati, tentang shalat, zakat, puasa dan haji yang marak diperbincangkan di kalangan para tetua seperti yang dikenal dengan istilah Ngaji Tua, menurut penulis merupakan bagian dari kajian-kajian sufistik yang sudah berkembang cukup lama di tanah Bima. Hal itu menunjukkan bahwa sentuhan tasawuf tidak hanya berkaitan dengan ibadah mendekatkan diri kepada Allah SWT, tetapi menyebar dalam bait-bait syair dan pantun Bima. Bait-bait yang dituturkan itu kini menjadi sunyi dan hanya kalangan tertentu yang cukup intensif melakukan kajian Ngaji Tua.

Sumber Pustaka :
1.    Anwar Hasnun, Struktur Dan Isi Pantun Bima
M     Muslimin Hamzah, Ensiklopedia Bima 
       Hasan, Abd-Hakim, al-Tasawuf fi Syi’r al-Arabi,Mesir,al-Anjalu al-Misriyyah,1954.

2.    Munawir,Ahmad warson, al-Munawwir : Kamus Arab – Indonesia, PP. al-Munawwir,Yogyakarta, 1984.
3.    Nasution, Harun, Prof. Dr., Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang,1995.
4.    Syukur, Amin,Prof. Dr., Menggugat Tasawuf,Yogyakarta,Pustaka Pelajar, 2002.
5.    Khoiri, Alwan.Dr.M.A., Damami.Moh.Drs.M.A.g., dkk., Akhlak Tasawuf, Yogyakarta, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.
6.    Rosihon Akhlak Tasawuf





Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.