4 Jenis Zina Dalam Pandangan Masyarakat Bima

Dalam pemahaman masyarakat Bima, ada 4 jenis zina dan hukuman terhadap para pelakunya. Ke enpat jenis zina itu adalah Zina To'i, Zina, Mbero To'i dan Mbero.
Pertama adalah Zina To' i atau zina kecil. Pelaku " londo iha" atau selarian dikategorikan Zina To'i meskipun mereka tidak melakukan hubungan seksual. Perilaku londo iha sudah dianggap berzina. Oleh karena itu badan hukum syara menitipkan mereka di Lebe Nae atau Cepe Lebe(penghulu) untuk dinikahkan baik oleh wali nasab maupun wali hakim. Mereka juga dikenakan denda. Besarnya denda ditentukan oleh Badan Hukum Syara.
Kedua adalah Zina. Zina adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh lelaki dan perempuan yang belum menikah. Zina ini hukumannnya adalah di dera sebanyak 100 kali untuk laki laki dan dera 50 kali untuk perempuan. Jika diketahui yang perempuannya hamil maka hukuman dera dilakukan setelah melahirkan.
Ketiga adalah Mbero To'i. Mbero To'i adalah perzinahan yang dilakukan oleh seorang laki laki yang sudah beristri dengan perawan atau janda, demikian pula sebaliknya antara perempuan yang sudah bersuami dengan jejaka atau duda. Hukuman untuk mbero to"i adalah dengan di dera, tetapi kadang kadang dibuang ke Pulau Komodo atau Pulau Sangiang.
Ke empat adalah Mbero..Mbero adalah perzinahan yang dilakukan oleh lelaki yang sudah beristri dengan perempuan yang sudah bersuami. Hukuman terhadap Mbero adalah hukuman mati. Pelakunya diarak keliling kota Bima dan dihukum mati di gunung Dara. Hukuman mati dilakukan dengan cara ditikam menggunakan " Piso Ci'i". Piso adalah pisau.Sedangkan ci"i berarti runcing dan tajam. Eksekutor adalah seorang yang dijuluki " Tingi Ncai ".Tingi berarti tinggi ilmunya. Ncai adalah jalan atau cara. Jadi Tingi Ncai adalah seseorang yang tinggi ilmunya dalam hal menikam seseorang langsung ke ulu hati. Jadi Eksekusi dilakukan kepada pelaku zina ienis Mbero dengan menikam tepat di ulu hati.
Itulah 4 jenis zina dan hukuman yang dijatuhkan kepada para pelakunya. Hal ini memberikan bukti sekaligus kenangan betapa Bima adalah daerah yang bermartabat kala itu. Penerapan hukumnya sangat tegas dengan perangkat aturan yang sangat lengkap dan apik. Penamaan hukuman dan istilah yang dititipkan leluhur masyarakat Bima semuanya bernilai filosofis dan memiliki makna yang dalam.
Pantaslah jika Bima disebut tanah bertuah karena leluhurnya menitipkan segudang nilai nilai bagi falsafah hidup generasi penerusnya. Akankah nilai nilai itu hilang? atau kembali kita tanamkan pada generasi kini dan akan datang?. jawabannya adalah tergantung kita yang hidup pada hari ini.
Bima, 12 Juni 2019
salam,
Alan Malingi
Sumber bacaan :
Prof.Abdul Gani Abdullah, SH. Peradilan Agama Dalam Pemerintahan Kesultanan Bima( 1947-1957).
Post a Comment