Mengapa Disebut Dana Taraha ?
[caption id="attachment_3304" align="alignleft" width="427"]
Nisan Sultan Abdul kahir I ( Foto EviIndrawanto)[/caption]


Hal yang sama juga dilakukan di Bima, dimana makam para raja dan sultan serta para mubaliq berada di atas bukit, meskipun ada juga yang tidak dimakamkan di atas bukit. Beberapa makam kuno di atas bukit yang bisa dijumpai di Bima selain di Dana Taraha antara lain di bukit Ule terdapat makam ulama Datu Raja Lelo, di pulau Kambing ada tujuh makam para mubaliq, di Sambori ada makam Syekh Subuh, Di Bukit Sorijo Nggelu ada makam Nurul Mubin, Di Nanga Nur Sape juga ada makam mubaliq, di bukit Wadu Ntanda Rahi kota Bima ada makam Syekh Alwi dan makam-makam lainya yang berada di atas bukit di Bima yang belum teridentifikasi. Pemakaman yang berlokasi di gunung atau bukit.
Lingkungan sekitarnya sejuk dan teduh. Seperti pada makam Sunan Gunung Jati, Sunan Giri, makam sultan-sultan Yogyakarta dan Solo di Imogiri, kompleks makam Asta Tinggi Sumenep, makam Sunan Sendang di Sendangduwur, dan sebagainya. Pemilihan lokasi ini merupakan kelanjutan dari tradisi yang berasal dari masa pra-Islam. Di samping itu alasan pemilihan lokasi bangunan di gunung atau bukit ini tampaknya juga atas pertimbangan kesakralan tanahnya (Mustopo, 2001: 185).
[caption id="attachment_3305" align="alignnone" width="912"]

Kembali ke Dana Taraha, saya pernah mewawancarai sejarahwan dan budayawan Bima almarhum Hilir Ismail Dan Massir Q Abdullah tentang Dana Taraha. Keduanya memberikan keterangan bahwa Taraha berasal dari kata Thaharahah yang berarti membersihkan kotoran atau mensucikan diri. Dana berarti tanah, Thaharahah berarti membersihkan diri atau bersuci. Tetapi lama kelamaan kata tharahah berubah menjadi Taraha. Dalam pemahaman dan keyakianan masyarakat Bima pada masa lalu, bahwa pemakaman seorang pemimpin di atas bukit adalah dihajatkan bahwa dia akan menuju tempat yang tinggi, suci dan bersih.
Post a Comment