UA PUA Atau U'A PUA ?

Akibatnya lahir konotasi yang keliru. Masyarakat menyangka bahwa Upacara Ua Pua sama dengan “NE’E U’A” (panjat pinang) yaitu salah satu jennis olahraga yang dipopulerkan oleh pembesar Belanda pada jaman kolonial untuk dijadikan totonan dalam memperingati hari – hari besar kerajaan Belanda. Ditinjau dari subtansi olahraga “NE’E U’A” dapat merusak perkembangan jiwa anak karena olahraga tersebut menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan tanpa mengindahkan nilai etika atau norma. Karena itu alangkah baiknya bila kita meninjau kembali keberadaan olahraga “NE’E U’A”, masih banyak olahraga tradisional yang bernilai positif bagi perkembangan Rohani dan Jasmani anak – anak.
Ua Pua dalam bahasa melayu disebut” Sirih Puan” adalah satu rumpun tangkai bunga telur berwarna warni yang dimasukkan ke dalam satu wadah segi empat. Jumlah bunga telur tersebut berjumlah 99(Sembilan Puluh Sembilan) tangkai yang sesuai dengan Nama Asma’ull Husna. Kemudian di tengah-tengahnya ada sebuah Kitab Suci Alqur’an. U’a Pua ditempatkan di tengah-tengah sebuah Rumah Mahligai(Bima: Uma Lige) yang berbentuk segi empat berukuran 4×4 M2. Bentuk Uma Lige ini terbuka dari ke empat sisinya. Atapnya bersusun dua, sehingga para penari lenggo Mbojo yang terdiri dari empat orang gadis, dan penari lenggo melayu yang terdiri dari empat orang perjaka, beserta para penghulu melayu dan pengikutnya yang berada di atas dapat dilihat oleh seluruh mayarakat sepanjang jalan.
Uma Lige tersebut diusung oleh 44 orang pria yang berbadan kekar sebagai simbol dari keberadaan 44 DARI MBOJO yang terbagi menurut 44 jenis keahlian dan ketrampilan yang dimilikinya sebagai bagian dari struktur Pemerintahan kesultanan Bima. Mereka melakukan start dari kampung melayu menuju Istana Bima untuk diterima oleh Sultan Bima dengan Amanah yang harus dikerjakan bersama yaitu memegang teguh ajaran Agama Islam.
Seiring dengan perjalanan waktu, lahir beragam persepsimasyarakat Mbojo (Bima) mengenai arti / makna serta tujuan Ua Pua, yang pada masa kesultanan merupakan salah satu upacara “Rawi Na’e Ma Tolu Kali Samba’a” ( upacara adat besar yang dilaksanakan tiga kali setahun ) selain upacara “ Ndiha Aru Raja To’I ( perayaan Hari Raja Idul Fitri ) dan Ndiha Aru Raja Na’e ( perayaan Hari Raya Idul Adha ). Akibat dari munculnya Persepsi yang beragam, maka tidaklah mengherankan munculnya respon yang berbeda pula dari Masyarakat, terhadap pelestarian Upacara Ua Pua sebagai media Dakwah dan Syiar Islam.
Untuk meluruskan pemahaman masyarakat Mbojo mengenai Subtansi upacara Ua Pua seharusnya para ulama, tokoh adat, budayawan dan organisasi yang bergerak di bidang sosial budaya berperan aktif dalam mengsosialisasikan makna serta tujuan upacara Ua Pua yang sesungguhnya.
Pada kesempatan ini akan dipaparkan secara singkat tentang arti / makna serta tujuan upacara Ua Pua. Menurut bapak Hasan Ibrahim seorang tokoh adat melayu yang semasa hidupnya memeganng jabatan penghulu Melayu dalam lembaga Sara Hukum Majelis Adat Dana Mbojo kata Ua Pua berasal dari bahasa melayu “Sirih Puan”, Arti Etimologis (Denotasi) kata tersebut adalah wadah untuk menyimpan sirih. Arti terminologis (konotasi) kata Ua Pua adalah rangkaian upacara adat untuk memeriahkan Hari Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, yang dilaksanakan selama sajuma’a ( sejum’at / sepekan ) pada wura molu ( bulan maulud / Rabiul Awal ). Puncak dari upacara Ua Pua ditandai dengan penyerahan Ua Pua yang berisi sebuah Kitab suci Al-Qur’an oleh penghulu melayu (Ulama) kepada sulta yang berlgnsung pada pagi hari tanggal 12 Rabiul Awal bertempat di Istana Bima. Upacara tersebut merupakan simbol kesepakatan ulama dan Sultan bersama seluruh Rakyat untuk menjujung tinggi ( mencintai kitab suci Al-Qur’an). Dengan kata lain Al Qur’an akan dijadikan sumber hukum serta pedoman dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, di samping “sunnah Rasul” dan “Ijtihad para Ulama” (Ijma, Qyas dan Urfshaih)
Sultan bersama rakyat harus menghormati para Ulama yang Ikhlas membimbing mereka kejalan yang lurus.
Setelah masyarakat memahami secara benar dan utuh tentang arti kata Ua Pua, maka perlu ditindak lanjuti dengan upaya mensosialisasikan tujuan yang ingin dicapai melalui pelaksanaan upacara tersebut. Para Ulama melalui Datuk Raja Lelo dan kawan – kawan sebagai perintis pelaksaan upacara adat Ua Pua, telah meluruskan tujuan yang ingin dicapai sebagai berikut :
- Memperingati dan memuliakan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW.
- Memperingati masuknya Agama Islam dan berdirinya kesultanan Bima.
- Menghormati penghulu Melayu ( Datuk gurunya ) beserta seluruh kaum keluarga / keturunannya yang berjasa menyebarluaskan Agama Islam di Bima ( Bo Melayu )
Kalau disimak secara cermat tujuan dari upacara Ua Pua dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya Upacara Ua Pua merupakan media Dakwah guna menigkatkan keimanan dan ketakwaan umat serta menjadikan Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai pedoman hidup. Selain itu Upacara Ua Pua bisa melahirkan sikap meghargai sejarah, sehingga masyarakat mau berguru kepada sejarah dan menatap kehidupan hari ini demi kejayaan hari esok. Upacara Ua Pua juga merupakan media yang paling efektif bagi seni budaya Mbojo yang islami. Mampu memotifasi seniman dan budayawan untuk menciptakan karya seni yang bermutu yang layak dipergelarkan dalam Upacara Ua Pua.(*alan)
Post a Comment