Masa Pendudukan Jepang Di Bima
Tanggal
17 Juli 1942
adalah momentum penting dalam catatan sejarah Bima. Pasukan Angkatan laut
Jepang berlabuh di pelabuhan Bima dipimpin colonel Saito. Dialah satu-satunya
perwira pasukan itu yang berambut panjang. Sedangkan yang lainnya berkepala
gundul. Mereka berjalan kaki menuju Istana Bima dan memenuhi kiri kanan jalan
sepanjang pelabuhan menuju istana. Mobil yang ditumpangi kolonel Saito berada
di depan dan diikuti ratusan pasukan di belakangnya.
Pada
awal kedatangannya, kolonel Saito menunjukkan simpati kepada masyarakat dan
pemerintah kerajaan Bima karena berhasil merebut kekuasaan dari Belanda. Namun
baru beberapa hari berada di Bima, pasukan Jepang mulai melakukan tindakan
kekerasan dan tidak simpatik. Mereka menurunkan bendera kesultanan Bima dan
menggantikannya dengan bendera Hinomaru. Hal ini mendapat reaksi dari pihak
kesultanan dan rakyat. Akhirnya disepakati bahwa bendera kerajaan Bima tetap
berkibar di Istana, dan bendera Hinomaru dinaikan di kediaman kolonel Saito di
pendopo kota Raba.
Hukuman
ala Jepang pun mulai berlaku terhadap salah seorang warga asal kampung Nggarolo
kecamatan RasanaE yang bernama La Kahi. Dia dipukul sampai pingsan, disirim air
dan setelah sadar dipukul lagi hingga akhirnya tewas. Aksi brutal pasukan
Jepang ini disaksikan oleh rakyat yang lewat di depan pendopo Kolonel Saito(
Pendopo Bupati lama yang telah terbakar di Kota Raba). La Kahi dituduh mencuri
besi-besi tua di kantor PU Raba. Sejak saat itu, suasana mencekam mulai terasa.
Hari-hari terlewati dengan segala kecemasan dan huru hara.
Selang
sebulan kemudian, pasukan angkatan darat Jepang dalam jumlah besar masuk ke
Bima. Pasukan itu menggantikan pasukan angkatan laut sebelumnya.
Sekolah-sekolah dijadikan tempat penampungan sementara.Mereka mendirikan
barak-barak darurat di kebun-kebun milik warga seperti di Rabangodu, Nggaro
Lembo, Nggembe,Rasanggaro, Rade,Bolo, Samili, Woha, dan Ntonggu. Sementara di
Belo dijadikan pabrik uang. Di pesisir selatan dan di teluk Waworada dijadikan
konsentrasi pasukan menghadapi serangan dari Australia. Karena teluk Waworada
dan sekitarnya berada di bibir samudera Hindia. Kebun-kebun dan tanah-tanah itu
diambil dengan paksa tanpa diberikan ganti rugi.
Gunung-gunung
dilubangi untuk perlindungan baterei penangkis udara dan tempat prlindungan
serta penyimpanan material/logistik perang. Gunung-gunung yang dilubangi itu
antara lain di gunung Dara, bukit lawata dan Lewa Mori. Lapangan terbang
Palibelo (sekarang Bandara Sultan Muhammad Salahuddin) yang telah lama
ditinggalkan Belanda direhabilitasi dengan sistim kerja Romusha. Pesawat
pemburu Jepang pun mendarat di Palibelo. Perairan pantai Lewa Mori menjadi
pangkalan pesawat Amphibi.
Kenapa
pasukan Jepang dalam jumlah besar berdatangan ke Bima ? karena kesultanan Bima
menjadi titik strategis dan terdepan yang dijadikan salah satu pangkalan
konsentrasi pasukan untuk menyerang ke Australia. Puluhan Ribu pasukan Jepang
tersebar di Bima. Konsentrasi pasukan paling banyak adalah di teluk Waworada
tepatnya di Rompo- Karumbu. Di sekitar teluk ini banyak dijumpai amunisi perang
dan meriam peninggalan Jepang.
Karena
banyaknya konsentrasi pasukan Jepang, tidaklah mengherankan jika pada tahun
1943 hingga 1944 serangan pesawat bomber sekutu dimuntakan di sekitar Bima.
Pasar Bima, pelataran istana Bima, masjid kesultanan Bima, kampung rabangodu,
tangki minyak dan pangkalan BBM peninggalan Belanda yang dikuasi Jepang,
lapangan terbang dan sejumlah fasilitas strategis lainnya dibom oleh pesawat
sekutu. Ribuan nyawa melayang. Lapangan pahlawan raba di depan rumah sakit umum
daerah Bima menjadi saksi bisu penampungan korban bom. Maka dari itulah
lapangan itu diberinama lapangan pahlawan raba. Kuburan massal korban bom di
rabangodu dinamakan kuburan suhada. Karena banyak korban bom yang dimakamkan di
situ.
![]() |
Salah satu Gua Jepang di Doro Belo sebelah timur Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima |
Untuk
menghindari serangan udara pasukan sekutu, rakyat diperintahkan untuk menggali
lubang-lubang perlindungan di halaman masing-masing. Aktivitas pemerintahan
kesultanan Bima dipindahkan di desa Dodu di ujung timur kota Bima. Bangunan di
sekitar bandara di cat hitam dan ditutupi duri agar tidak kelihatan dari udara
terutama di malam hari. Hingga saat ini, bangunan di depan Bandara Sultan
Muhammad Salahuddin diberinama “ Uma Me’e” atau rumah hitam. Sayang bangunan
ini telah dijadikan kantor Polsek dan BPR Pesisir Bima. Uma Me’e semestinya
bisa dijadikan museum perjuangan masyarakat Bima yang diisi dengan berbagai
koleksi foto masa pendudukan Jepang di Bima dan benda-benda bersejarah lainnya.
Pemerintah
pendudukan Jepang juga memerintahkan para Gelarang dan kepala kampung untuk
mengumpulkan alat rumah tangga yang terbuat dari kuningan dan tembaga. Ribuan
ton material dikumpulkan dan dikapalkan menuju Jepang sebagai bahan baku
industry strategis. Masyarakat yang enggan memberikan material tersebut
menimbun sendiri di kebun-kebun dan hutan.
Di
bidang pendidikan, masa pendudukan Jepang sangat kental dengan nuansa Jepang.
Sekolah-sekolah diganti nama Belanda ke nama Jepang. Sekolah HIS diganti dengan
Kekomin Gakko(Sekolah Rakyat lengkap 6 tahun), Buku-buku berbahasa Belanda
dibakar habis. Sekolah pertanian Lanbow School diganti dengan Nagio Gakko.
Sekolah dasar menjadi Futsu Ku Gakko,sekolah guru CVO menjadi Syooto Sihan
Gakko atau Kyoin Yo Seiso, madrasah islam menjadi Islam Gakuin. Bahasa Jepang
wajib diajarkan mulai kelas II. Apel atau tenko dilaksanakan setiap hari.
Bendera hinomaru dinaikan diiringi lagu kebangsaan Kimogayo. Siswa diwajibkan
Seikeirei atau mengheningkan cipta mnghadap kea rah matahari terbit untuk
keselamatan kaisar Tenno di Tokyo.
Untuk
Romusha, penduduk diperintahkan secara bergiliran dengan membawa bekal
masing-masing. Mereka bekerja di barak-barak Jepang, memperbaiki jalan,
jembatan, lapangan terbang dan lubang perlindungan dengan menggunakan dinamik
dan juga memelihara kebun sayur untuk keperluan barak-barak Jepang.
Serangan Bom Atom di Herosima dan Nagasaki menyebabkan
Jepang takluk pada Sekutu. Para pejuang Indonesia memanfaatkan momentum itu
untuk memeprsiapkan kemerdekaan. Pada tanggal 17 Agusustus 1945, Soekarno-Hatta
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia atas nama bangsa Indonesia. Masa transisi
terjadi dimana-mana dan termasuk di Bima.
![]() |
Pelucutan Senjata Tentara Jepang di Pantai Lawata pada tanggal 17 oktober 1945. Foto Mbojoklopedia dan AWM Copyright ) |
Jepang kalah perang dan angkat kaki dari tanah Bima.
Belanda dengan bantuan dan dukungan sekutu-sekutu nya ingin kembali menjajah
Indonesia, termasuk di Bima. Namun perjuangan yang gigih untuk mempertahankan
proklamasi dan NKRI, akhirnya merah putih terus berkibar. Pada tahun 1949
melalui konferensi Meja Bundar di Denhaq, kedaulatan Indonesia dapat
dipertahankan. Negara kesatuan republik Indonesia kembali tegak berdiri.
Kesultanan Bima akhirnya menjadi daerah swapraja kemudian menjadi daerah
Kabupaten Dati II Bima.
Penulis : Alan Malingi
Post a Comment