Menguak Praktek Sex Militer Jepang Di Bima
![]() |
sumber Foto : Kompasiana. Com |
Praktik pelampiasan nafsu sex militer Jepang menyebar ke
seluruh wilayah jajahan. Di Bima, praktik ian fu dilakukan oleh Militer Jepang.
Mmang sejauh ini belum ada data dan keterangan dari para pelaku sejarah terkait
keberadaan ian fu asli Bima. Para ian fu yang ada di Bima didatangkan dari Jawa
dan Sumtera. Bagaimana kisah para ianfu di Bima dan peristiwa Nika Baronta (
Kawin Berontak) itu terjadi ? Berikut petikan wawancara saya dengan almarhum H.
Abubakar Ismail, ketua Legium Veteran RI Cabang Bima pada bulan juli tahun
2014.
Saya lahir di desa Talabiu Bima 13 Juli 1925. Hal
itu saya ketahui karena kebiasaan orang tua saya menuliskan kelahiran
putera-puterinya di tiang-tiang rumah. Di usia sekitar 7 tahun saya masuk di
sekolah Desa di Tente selama 5 tahun, kemudian melanjutkan ke sekolah
Uvernement selama 2 tahun dan sekolah pertanian (Landbow Class di Tente selama
satu tahun).Boleh dibilang, saya merupakan salah
satu putera daerah yang sangat intens menekuni sekolah pertanian. Sultan
Muhammad Salahuddin waktu itu sangat memperhatikan kiprah sekolah ini untuk
membangun pertanian di tanah Bima.
![]() |
Almarhum H. Abubakar Ismail bersama kucing kesayangannya. |
Berkaitan dengan masuknya Jepang di Bima, saya tidak
ingat persis tanggalnya, waktu itu musim kering, pasukan Jepang berlabuh di
pelabuhan Bima pada tahun 1942. Saat itu saya baru mulai mengajar di sekolah
pertanian yang dibentuk Belanda. Kami senang ketika mendengar Jepang masuk,
karena mereka adalah sosok saudara tua sebagai sesama bangsa Asia. Beberapa
bulan setelah menginjakkan kaki ke Bima, Jepang mulai merubah seluruh tatanan
kehidupan politik, ekonomi, maupun pendidikan. Sekolah –sekolah yang dibangun
Belanda itu diganti dengan sekolah berbahasa Jepang, termasuk sekolah
Landbow(Pertanian) itu diganti dengan Nama NogiyoGako( Sekolah Pertanian).
Beberapa hari setelah nama sekolah itu diganti,
Sultan Muhammad Salahuddin memanggil saya di Istana. Saat itu beliau menanyakan
tentang berbagai kemajuan dan kendala yang dihadapi di NogiyoGako Lewirato(SMUN 2 Kota Bima sekarang, sebelumnya juga bernama SMPPP atau sekolah menengah pertanian pertama). Beliau
menginginkan salah seorang guru dari sekolah itu untuk melanjutkan pendidikan
ke Singaraja Bali untuk terus memajukan sekolah pertanian maupun kiprah para
penyuluh pertanian di masyarakat dengan bea siswa dari Pemerintah Kesultanan
Bima. Saya terima tawaran itu, berangkatlah saya ke Singaraja. Satu tahun
lamanya saya menuntut ilmu di pulau Dewata itu.
Pada tahun 1943, saya kembali ke Bima.
![]() |
Sumber Foto : myrepro.wordpress. com |
Keadaan Bima semakin tidak menentu. Jepang semakin
kasar. Masyarakat disuruh Romusya untuk membangun jalan, instalasi militier,
lubang persembunyian dan bahkan membangun Bandara di Palibelo. ( Cikal Bakal
Bandara Sultan Muhammad Salahuddin sekarang). Perumahan di sekitar Bandara itu dicat dengan warna
hitam, agar tidak dilihat oleh pesawat-pesawat sekutu yang setiap saat
mengudara di langit Bima. Karena dicat hitam, rumah-rumah itu disebut oleh
masyarakat Bima dengan “ Uma Me’e” (Rumah Hitam). Banyak korban berjatuhan
sebagai syuhada di sekitar Pantai Lawa
Mori dan Bandara Palibelo akibat kerja Romusha yang diterapkan Dai Nippon. Di pantai itulah masyarakat Bima berjuang antara
hidup dan mati membangun ambisi “ Saudara Tua” untuk memenangkan Perang Asia
Timur Raya.
Suatu senja, saya kebetulan lewat Barak itu menuju
ke NagiyoGako. Saya berpapasan dan membernaikan diri bertanya kepada salah
seorang penghuni barak itu asal pulau Jawa.Saya tidak ingat namanya. Dia
menuturkan bahwa mereka di bawa ke Bima untuk dijadikan perawat dan pekerja di
kantor-kantor perwakilan Jepang. Mereka tidak menyangka kalau nasib mereka akan
menjadi seperti itu, pelampias nafsu para tentara Jepang. Mereka pasrah pada
keadaan itu, dan terus berdoa semoga mereka bisa kembali ke Jawa dan menajalani
hidup dengan normal.
Bagaimana dengan gadis-gadis Bima ? Adakah yang
diambil Jepang sebagai Ianfu ?
Tidak ada satu pun Gadis Bima yang dibawa Jepang
menjadi IANFU. Hanya saja ada beberapa perempuan Bima yang sering dibawa Jepang
ke Barak penampungan untuk diperkerjakan sebagai tukang cuci, tukang masak, tukang
pijit dan lain-lain. Tahun 1944 adalah torehan waktu yang tidak akan pernah
saya lupakan dalam sejarah hidup saya. Beberapa bulan setelah saya menikah
pasar Bima dibom oleh sekutu. Pelataran Istana pun dibom, Masjid Kesultanan
Bima rata dengan tanah dan tinggal mihrabnya saja yang berdiri. Untuk menjaga
keselamatan, Sultan Muhammad Salahuddin dan
keluarganya
mengungsi ke Desa Dodu. Karena desa itu terlindung oleh
gunung-gunung dan serangan udara Sekutu.
Di tengah kepanikan yang luar biasa itu, Jepang
mengeluarkan keputusan dan permintaan yang sangat bertolak belakang. Mereka
meminta gadis-gadis Bima untuk dikirim dan dipekerjakan sebagai pelayan bar,
perawat maupun pegawai kantor perwakilan Jepang di Jawa dan Sumatera. Permintaan
itu disampaikan langsung kepada sultan Muhammad Salahuddin, para Jeneli(Camat)
maupun Gelarang( Kepala Desa). Seluruh Jeneli dan Gelarang menolak permintaan
itu. Secara spontan Sultan Muhammad Salahuddin mengeluarkan ultimatum kepada
para orang tua untuk sesegera mungkin menikahkan puterinya agar tidak diambil
oleh Jepang. Diutamakan pernikahan dilakukan dengan keluarga dekat, supaya
prosesnya cepat.
Suasana panik terjadi dimana-mana. Dalam satu
keluarga terdapat dua sampai lima pasang pengantin yang dinikahkan. Setiap hari
ratusan pasangan pengantin dilangsungkan ijab Kabul. Penghulu sangat kelelahan
naik turun rumah panggung untuk proses akad nikah. Pernikahan
dilangsungkan dengan sangat sederhana, hanya dengan kopi dan jajanan. Itulah
sejarah yang mungkin tidak pernah terjadi di negeri manapun di muka bumi ini.
Orang tua para gadis mencarikan jodoh untuk anak gadisnya. Kadang yang lakinya
ganteng, tetapi yang perempuannya jelek,
demikian juga sebaliknya, mereka tidak pernah pecaran sebelumnya, cinta mereka bangun setelah menikah.
Peristiwa itulah dalam sejarah Bima dikenal dengan Nika Baronta.
Yang tidak sempat dinikahkan, para gadis
disembunyikan di atas loteng rumah. Kadang-kadang mereka menetap dibawah
kolong-kolong rumah, bergelut dengan tanah liat untuk membuat periok dan
perlengkapan rumah tangga dari tanah liat. Kadang juga mereka berdandan seperti
nenek-nenek. Cara
itu ternyata menyurutkan niat
Dai Nippon untuk membawa dan mengambil mereka untuk dijadikan JUGUN IANFU.
Setelah Jepang Kalah Perang dan Seokarno-Hatta
memproklamirkan kemerdekaan, para wanita itu dibawa pulang ke tanah Jawa dan
Sumatera. Beberapa bulan kemudian tersiar kabar bahwa mereka ditenggelamkan dan
dibunuh di tengah lautan. Tidak satupun di antara mereka yang kembali ke tanah
Jawa.
Akhir yang tragis dari perang dan nafsu.
Salam Sejarah,
Alan Malingi
Post a Comment