Hilangnya Tradisi Hijriah Dari Tanah Bima
Sultan Bima kedua Abdul Khair Sirajuddin (1640-1682) memerintahkan penulisan BO( Catatan Kuno Kerajaan Bima) dengan aksara Arab Melayu. Sejak saat itu naskah BO ditulis dengan bahasa Arab Melayu. Dalam setiap catatan wajib mencantumkan tarikh hijriah lengkap dengan hari dan waktu shalat atau waktu tertentu.
Penulisan BO diawali dengan kalimat " Hijratun Nabi SAW, 1 julhijah 1055 ba'da Dzuhur, tatkala itulah Duli Yang dipertuan kita..... dan seterusnya...."
Tidak hanya itu, Abdul Khair Sirajuddin juga menetapkan kalender event di kesultanan Bima atau yang dikenal dengan Rawi Na 'e Ma Tolu Kali Samba'a atau Hari Besar Tiga Kali Setahun. Rawi Na' e itu adalah Idul Adha, Idhul Fitri Dan Hanta UA PUA yang merupakan rangkaian peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Pada tiga hari besar itu, kesultanan Bima menggelar Doho Sara yaitu Rapat Kabinet Paripurna Kerajaan. Dalam Doho Sara, semua pejabat kerajaan hadir di Istana.
Meskipun di era penjajahan Belanda menerapkan tarikh masehi, namun kesultanan Bima tetap menerapkan tarikh hijriah. Hal itu dibuktikan dengan asrip arsip sultan Bima hingga memasuki akhir abad ke 19. Dampak dari penggunaan tarikh hijriah di masyarakat Bima cukup signifikan kala itu. Hari libur adalah hari jumat.Para pekerja, tukang,buruh tidak bekerja pada hari jumat. Mereka memanfaatkan hari itu untuk beribadah sambil memperbaiki dan mengasah alat dan kelengkapan kerja.
Pada masa itu, patokan waktu untuk sepekan adalah hari jumat. Sehingga dikenal dengan istilah Sajama 'a atau dua jama 'a dan seterusnya. Dalam tutur masyarakat Bima dulu, Sajama 'a sangat melekat. Salah satu contoh adalah sebagaimana percakapan di bawah ini.
" Tabe ra ndai na ma ntau uma ke?"
" Dua jama' a ra lao na awa Tambora ,"
" Dua jama' a ra lao na awa Tambora ,"
artinya :
" Sudah kemana penghuni rumah ini?"
" sudah dua kali jumat ke Tambora"
" sudah dua kali jumat ke Tambora"
Masa pendudukan Jepang sangat frontal.Pemerintah Militer Jepang merubah nomenklatur kantor dan sekolah, bahasa hingga penanggalan dengan kalender Jepang. Tahun proklamasi saja ditulis dengan tahun Jepang yaitu tahun 05. Beberapa arsip surat sultan Muhammad Salahuddin juga menggunakan tahun Jepang pada tahun 1945 yaitu dengan tahun 05. Namun pemaksaan oleh Jepang ini tidak berlangsung lama. Masa Pendudukan selama 3,5 tahun itu tidak memberi dampak besar bagi perubahan tarikh hijriah di kesultanan Bima.
Pada tanggal 28 September 1950, Indonesia resmi menjadi anggota ke 60 Perserikatan Bangsa Bangsa. Sejak saat itu mulai terjadi perubahan secara masif dan terstruktur penggunaan Tarikh Hijriah ke tarikh masehi. Kalender masehi diproduksi besar besaran. Hari Minggu menjadi hari libur. Pemerintah Indonesia mengikuti trending mayoritas dalam penggunaan tarikh masehi dan pengaruh pergaulan internasional. Istilah Sajama 'a berubah menjadi saminggu atau seminggu.
Pada tahun 2011, Bupati Bima H.Ferry Zulkarnain.ST menerbitkan Perbub Nomor 3 Tahun 2011 tentang Tata Naskah Dinas di lingkup Pemerintah Kabupaten Bima,dimana diwajibkan mencantumkan penanggalan hijriah di bawah penanggalan masehi. Upaya ini memang cukup membantu mengenalkan kembali tarikh hijriah di masyarakat Bima. Namun belum dapat merubah tatanan sistim penanggalan masehi yang sudah melekat dalam tata naskah dinas maupun pergaulan masyarakat.
Dampak saat ini, sebagian masyarakat Bima lebih cenderung merayakan pergantian tahun masehi daripada pergantian tahun hijriah. Pergantian tahun masehi selalu dengan hura hura dan glamour, meskipun di beberapa sudut dirayakan dengan zikir dan doa.
Hilangnya Tarikh Hijriah tentu tiidak hanya terjadi di Bima, tetapi di seluruh kerajaan Islam di nusantara. Kehilangan tarikh hijriah juga menandai kehilangan tradisi hijriah di kalangan masyarakat Bima.
Kota Bima, 1 Januari 2020
Selamat Tahun Baru Masehi 2020.........!
Post a Comment