Mengintip Era Prasejarah Bima
Masa Pra Sejarah Bima dikenal dengan Zaman Naka. Keterangan
tertulis tentang masa ini tidak ada. BO(Kitab Kuno Kerajaan Bima) hanya
menceritakan bahwa sebelum masa Ncuhi, masyarakat Bima hidup dalam zaman Naka.
Ciri kehidupan zaman ini hampir sama dengan ciri kehidupan zaman pra sejarah
pada umumnya yaitu nomaden, food gathering, belum mengenal tulisan, belum
mengenal pertanian dan peternakan dan menganut kepercayaan Makamba[1]
Makimbi[2],
sejenis dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Diperkirakan pendukung zaman
naka adalah orang-orang Donggo yang merupakan penduduk Asli Bima atau juga
mereka sudah terdesak ke timur seperti Flores, Sumba dan sekitarnya.
Bukti terdesaknya masyararakat pendukung peradaban Naka ini
adalah dari tradisi tutur masyarakat di Desa Tarlawi kecamatan Wawo kabupaten
Bima. Mereka menyebut orang orang dari luar klan mereka dengan istilah “ Saru “
atau musuh. “ Saru Apa Mai ? Musuh darimana yang datang?. Demikian diungkapkan
oleh salah seorang tetua setempat kepada penulis dan tim Makembo yang
melaksanakan kemah budaya di Tarlawi pada tanggal 28 Juli 2018.
Dari tutur yang tersebar di masyarakat setempat memberikan
satu garis arah, bahwa peradaban Naka ini tersingkir akibat kedatangan
orang-orang luar dan munculnya peradaban baru di tanah Bima. Pada masa lalu,
masyarakat Donggo Ele terdiri dari 4 klan masyarakat yaitu Sambori, Teta, Kuta,
dan Tarlawi. Orang Sambori menempati pesisir Talabiu, orang
Kuta menempati pesisir Kolo, orang Teta menempati wilayah pesisir Ambali hingga
Tala Piti dan Orang Tarlawi menempati pesisir pantai Mawu
Setelah orang orang luar dengan peradabannya
yang lebih maju masuk ke tanah Bima, maka empat kelompok tersebut akhirnya
menyingkir menyusuri lembah dan pegunungan dengan pola hidup nomaden dari satu
tempat ke tempat yang lainnya. Mereka akhirnya tiba di tempat baru di
Tarlawi,Kuta, Teta dan Sambori. Khusus Sambori, Yusuf Alwi mengemukakan bahwa
Sambori berasal dari Kata Sampori atau melepaskan diri dari kelompok induknya.[3]
Salah satu bukti keberadaan zaman Naka adalah temuan Tim
Ekskursi Uma Lengge dari Mahasiswa dan Dosen Fakultas Arsitektur Universitas
Indonesia tahun 2017. Mereka membagi tiga tim penelitian yaitu Tim Wawo, Tim
Donggo dan Tim Sambori. Mereka menemukan satu hunian yang lebih awal dari Uma
Lengge yaitu Lege, sejenis rumah pohon di pegunungan Sambori. Temuan itu
dituangkan dalam sebuah buku dengan judul “ Bima, antara Padi Dan Atsitektur. “
Masa Ncuhi merupakan masa ambang sejarah (Proto
Sejarah). Pada masa ini masyarakat sudah
hidup berkelompok, menetap, mengenal pertanian dan peternakan. Mereka sudah
mulai hidup teratur di bawah pimpinan wilayah yang disebut NCUHI. Bo menulis : Sawatipu
ba londona sia sangaji, wa’ura wara dou labo dana (
Sebelum datangnya Sangaji (Raja) sudah ada orang dengan tanahnya ). Bo juga
menulis : Ndi tangara kai Ncuhi, ededu dumu dou, inampu’una ba weki ma rimpa, ndi
batu wea ta lelena, ndi siwi wea ta nggawona.[4]
Artinya, Ncuhi adalah manusia utama, penghulu masyarakat serumpun, diharapkan
pengayomannya, untuk diikuti arah condongnya.
Ncuhi adalah pemimpin kharismatik tradisional yang menguasi
wilayah gunung dan lembah. Nama Ncuhi diambil dari nama gunung dan lembah yang
dikuasainya. Ncuhi asal kata Ncuri atau Suri yang menjadi cikal bakal
kehidupan. Ada banyak Ncuhi di Bima. Ada Ncuhi Lambu, Jia, Buncu, Sape, Kabuju,
Kolo, Padolo, Mola dan lain-lain. Mungkin jumlahnya ada ratusan orang. Tapi ada
lima Ncuhi induk yang merupakan pimpinan wilayah yang membawahi Ncuhi-ncuhi
tersebut yaitu Dara (Wilayah Tengah,pusat kota), Dorowuni (Wilayah
Timur) Bolo (wilayah Barat) ,Banggapupa( Wilayah Utara) dan Parewa (
Wilayah Selatan). Lima Ncuhi inilah yang kemudian mengadakan musyawarah di Doro
Babuju untuk mengangkat seseorang yang bergelar Sang Bima menjadi Raja.
Pada masa Ncuhi, Bima telah menjalin hubungan dengan
negeri-negeri di luar. Hal itu didukung oleh teluk dan pelabuhan alamnya yang
tenang dan indah. Teluk Bima menjadi tempat persinggahan terbaik bagi para
pelaut dan pedagang dari berbagai negeri. Hasil alam Bima juga diminati seperti
kayu Songga, Sopa, pewarna, Rotan, Kerbau, kuda, padi dan palawija serta hasil
alam lainnya.
Sejak Abad XII Masehi, kuda asal Bima sudah tersohor di
Nusantara. Saat itu, para pedagang dari berbagai penjuru datang membeli Kuda
Bima, kemudian dijual di negeri asalnya untuk dijadikan tunggangan para raja,
bangsawan, dan panglimaperang.
Dalam Kitab Negara Kertagama dinyatakan, Raja-raja dan panglima perang
Kerajaan Kediri, Singosari, dan Majapahit, selalu memilih Kuda
Bima untuk memperkuat armada kavalerinya. Para Gubernur Jenderal Hindia Belanda
di Batavia pun sering meminta dikirimi Kuda Bima yang dinilai sebagai jenis
kuda terbaik di Kepulauan Hindia Belanda. Kuda Bima dinilai sebagai sarana
transportasi yang tangguh karena kuat membawa beban hasil panen, tahan cuaca
panas, serta jinak.
Kesimpulan
1.
Bukti keberadaan zaman Ncuhi adalah tersebarnya temuan
peninggalan para Ncuhi seperti di Sape, Lambu, Parado, Woha, Monta, Wawo,
Donggo, Kota Bima dan wilayah lainnya di Bima.
2.
Bukti lain adalah tersebarnya cerita rakyat atau legenda di
wilayah Bima. Kegenda tentang Ncuhi Parewa, Ncuhi Buncu, Ncuhi Kabuju, Ncuhi
Mola, Ncuhi Dara, Ncuhi Dorowuni, Ncuhi Bolo, Ncuhi Banggapupa, dan lain lain.
3.
Keberadaan Ncuhi juga disebutkan dalam BO Sangaji Kai maupun
BO kerajaan Bima lainnya terutama tentang kedatangan Sang Bima dan pembentukan
federasi Ncuhi yang diketuai oleh Ncuhi Dara. Lima federasi Ncuhi itu membagi
wilayah kekusaannya dengan batas teluk Bima yaitu Ncuhi Dara menguasai wilayah
tengah. Ncuhi Parewa di wilayah selatan, Ncuhi Banggapupa di wilayah utara,
ncuhi Dorowuni di wilayah timur dan Ncuhi Bolo di wilayah barat.
4.
Perlu penelitian lebih lanjut tentang peradaban zaman Naka
dan Ncuhi. Pemerintah Daerah harus proaktif menggandeng komunitas dan
masyarakat dalam rangka mengumpulkan peninggalan zaman Naka dan Ncuhi.
Referensi
1. Anhar Gonggong, DR, Komunikasi Dalam Masyarakat Majemuk Dalam
Integrasi Bangsa, Mataram, 1995.
2. Hilir Ismail M., Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah
Nusantara,
3. Massier Abdullah, Bo (Suatu Himpunan Catatan Kuno Daerah
Bima), Proyek Pengembangan Permuseuman Nusa Tenggara Barat, Depdikbud NTb,
1981/1982.
4. Sejarah
Bima Dana Mbojo, Abdullah Tayib, BA
5. Chambert
Loir Henry, Sitti Maryam R. Muhammad Salahuddin,” Bo Sangaji Kai”, Yayasan
Obor, Jakarta, 1999.
6. Hilir Ismail & Alan Malingi, Jejak Para Sultan Bima.
7. Tim Ekskursi Uma Lengge, Universitas Indonesia 2017. Bima
Antara Padi Dan Arsitektur
Disampaikan pada :
Kajian Sejarah Dan Budaya, Asi Mbojo 23 Februari 2020.
[1]
Makamba identik dengan keyakinan Dinamisme, sedangkan Makimbi identik
dengan keyakinan Animisme. Makamba berasal dari kata Kakamba, kemudian mendapat
awalan Ma menjadi Makakamba, kemudian berubah menjadi Kakamba. Kakamba berarti
cahaya yang memancar. Makakamba berarti benda yang memancarkan cahaya.
[2] Makimbi berasal dari kata kakimbi yang mendapat tambahan Ma menjadi
makakimbi kemudian berubah menjadi Kakimbi. Kakimbi mengandung dua pengertian
yaitu pertama berarti cahaya kemilau atau kelap kelip. Kedua berarti gerakan
denyut jantung yang menunjukkan bahwa manusia atau binatang masih hidup. Dalam
konteks ini, makakimbi atau kakimbi adalah simbol dari roh atau jiwa yang
dimiliki oleh setiap benda.
[3]
Hasil wawancara dengan Ketua
Lembaga Adat Desa Tarlawi Drs.H.Yusuf Alwi.M.Si didampingi para Kepala dusun
dan warga pada Sabtu malam 28 Juli 2018
[4] Hilir
Ismail,Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara. (hal :25 )
Post a Comment