Menyelamatkan Bahasa Inge Ndai
Selasa siang, 23 Juni 2020 di ruang lobi Sultan Nuruddin Museum Asi Mbojo, saya menerima dua tamu yaitu Drs. H.Anwar Hasnun dan Rahmatia Ardila. Anwar Hasnun adalah budayawan, tokoh bahasa dan sastra yang telah banyak menulis buku tentang sastra lisan Bima.Rahmatia Ardila adalah mahasiswa paska sarjana Universitas Negeri Semarang yang sedang menyelesaikan tesis dengan judul
"Pemertahanan Bahasa Inge Ndai dalam Ranah Keluarga pada Masyarakat Lambitu"
"Pemertahanan Bahasa Inge Ndai dalam Ranah Keluarga pada Masyarakat Lambitu"
Kami berdiskusi tentang upaya penyelamatan Bahasa Inge Ndai di lingkup Kecamatan Lambitu. Rahmatia menyampaikan bahwa selama ini bahasa Bima terdiri dari 4 dialek yaitu Wawo, Kolo, Serasuba dan Kore. Tetapi dari hasil penelitiannya bahwa apa yang selama ini bahwa salah satu sub dari dialek wawo sebenarnya merupakan sebuah bahasa tersendiri yang disebut dengan Bahasa Inge Ndai.
Bahasa Inge Ndai adalah bahasa "minoritas" yang dituturkan masyarakat Lambitu Kabupaten Bima.Bahasa Inge Ndai terdiri dari 7 sub-dialek yang tersebar di enam desa di kecamatan Lambitu yaitu Sambori dengan dialek halus,, Kuta dialek intonasi sedang.Kaboro, Londu dan Kaowa dengan dialek intonasi tinggi. Desa Teta terdapat dua dialek intonasi tinggi di dua dusun yaitu Teta Awa dan Teta Ese.
Anwar Hasnun menanggapi bahwa bahasa Inge Ndai termasuk bahasa Bima lama yang dituturkan oleh orang Donggo Ele. Di Donggo Ipa pun pernah dituturkan bahasa Bima lama di sejumlah desa di Donggo. Bahasa Bima baru adalah bahasa Bima atau Nggahi Mbojo sekarang.
Saya dan tim Majelis Kebudayaan Mbojo telah mengumpulkan kosa kata Inge Ndai, Kolo dqn Kore yang memang berbeda dengan Nggahi Mbojo. Dari hasil pengumpulan itu, rumpun Inge Ndai memiliki perbedaan yang jauh dengan Bahasa Bima. Perbedaan itu melebihi 80 porsen dengan bahasa Bima. Dalam kaidah linguistik jika sebuah dialek melebihi 80 porsen dari bahasa induknya, maka dialek itu bisa menjadi bahasa yang mandiri.
Bahasa Inge Ndai masih lestari di kalangan masyarakat Lambitu. Dalam komnukasi sehari hari, warga Lambitu berbahasa Inge Ndai. Jika berkomunikasi dengan orang di luar rumpun Inge Ndai mereka menggunakan bahasa Bima(Nggahi Mbojo). Salah satu faktor penyebab masih eksisnya bahasa Inge Ndai adalah faktor geografis dimana rumpun inge ndai bermukim di antara lembah yang jauh dari komunitas Mbojo.Jika terjadi pernikahan campuran, dan mereka tetap tinggal di Lambitu, maka bahasa Inge Ndai tetap menjadi alat tutur sehingga warga pendatang pun akhirnya bertutur inge ndai. Berbeda dengan Kolo dan Kore. Secara geografis dua wilayah itu berada di daerah pesisir yang terbuka sehingga arus perubahan dan peradaban baru cepat masuk, termasuk penetrasi Nggahi Mbojo.Kini dialek Kolo dan Kore punah meskipun hanya beberapa orang yang masih bisa berkomunikasi dengan dialek itu.
Bahasa Inge Ndai harus diselamatkan dari kepunahan. Beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan adalah menyusun kamus atau buku Bahasa Inge Ndai, musyawarah bersama rumpun inge ndai untuk melestarikan kebudayaan Inge Ndai. Memasukan Bahasa Inge Ndai ke dalam muatan lokal untuk dipelajari bersama Bahasa Bima.
Bahasa Inge Ndai adalah bahasa yang awal dan tertua di Bima. Hal ini semakin membuktikan bahwa Bima adalah tanah tua dengan segala macam warisannya yang tersisa.
Post a Comment