Museum Perjuangan Uma Me'e (Sebuah Gagasan )
Bangunan tua ini sekarang telah difungsikan sebagai kantor Polsek Palibelo, kantor pos cabang Palibelo dan Kantor Bank BPR Bima. Pada zaman Belanda, bangunan ini mulai dibangun sebagai persiapan kantor pelandasan pesawat (Persiapan pembangunan Bandara). Dan pada masa pendudukan Jepang proyek pelandasan pesawat itu dilanjutkan dengan sistim kerja paksa Romusha. Kaum laki-laki di seluruh desa di wilayah Bima dikerahkan paksa untuk pembangunan Bandara. Keringat, darah dan air mata bercucuran membasahi kompleks yang sekarang dinikmati sebagai Bandara Udara Muhammad Salahuddin Bima.
Dr.Hj.Siti Maryam Rachmat Salahuddin, salah seorang saksi sejarah dan puteri Sultan Bima menceritakan, pada masa Jepang yang hanya 3, 5 tahun itu, penderitaan rakyat sungguh luar biasa. ” Bahan makanan langka, pakaian sulit didapatkan, masyarakat banyak yang mengenakan karung Goni, Jepang masuk keluar kampung dan merampas ternak, bahan makanan, besi dan kuningan untuk keperluan tentara Jepang dan industri militer. ” Kenang Siti Maryam yang saat itu baru saja dipulangkan dari sekolah HBS Malang karena pecahnya perang dunia II.
Pada Tahun 1944, intensitas serangan pasukan udara sekutu terus meningkat. Pemboman demi pemboman pun terjadi di hampir seluruh wilayah Bima.” Yang paling parah adalah di pasar Bima, ratusan jiwa melayang, masjid kesultanan Bima juga rata dengan tanah, termasuk pelataran Istana Bima.” Tutur Maryam yang mengingat bahwa pesawat tempur yang memuntahkan bom itu berwarna hitam berbendera Amerika dengan tulisan “ Royal Air Force “. RAF adalah angkatan udara yang dibentuk Britania Raya menjelang akhir Perang Dunia I pada tanggal 1 April 1918. Menyusul kemenangan atas Block Sentral pada tahun 1918, RAF pada saat itu tampil sebagai angkatan udara terbesar di dunia. Sejak pembentukannya, RAF telah berperan besar dalam sejarah militer Britania, khususnya selama Perang Dunia Kedua dalam kampanye militer yang paling terkenal, Pertempuran Britania.
Kembali ke Uma Me’e, karena khawatir dibom oleh pesawat Sekutu, seluruh kompleks bangunan itu dicat warna hitam. Karena itulah bangunan depan Bandara Sultan Muhammad Salahuddin ini diberi nama Uma Me’e ( Rumah Hitam). Malam harinya tidak diperkenankan menyalakan lampu. Suasana malam sangat mencekam. Setiap bunyi sirine pasukan Jepang, masyarakat lari keluar rumah dan bersembunyi di lubang-lubang yang telah dipersiapkan. Setelah tersiar kabar bahwa Jepang telah kalah perang, masyarakat pun bernapas lega. Meskipun belum tahu apa yang akan terjadi dikelak kemudian hari. Uma Mee pun berhasil diselamatkan hingga masih bertahan sampai saat ini. Sudah selayaknya bangunan ini menjadi Situs Cagar Budaya dan museum perjuangan masyarakat Bima.
Saya mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Bima untuk menjadikan Uma Me’e sebagai rintisan sebuah Museum Perjuangan Masyarakat Bima. Uma Me’e sangat strategis di depan Bandara Sultan Muhammad Salahuddin. Setiap orang bisa mampir terutama tamu-tamu luar daerah dan wisatawan asing. Di Museum Uma Me’e dipajang dipajang foto- foto dan dokumen Bima pada masa kolonial dan film dokumenter sekitar masa pendudukan Jepang di Bima.Perlu ada aksi bersama untuk memperjuangkan Uma Me’e sebagai Museum Perjuangan Masyarakat Bima. Sesulit apapun jalan yang ditempuh, dengan semangat kebersamaan seluruh lapisan masyarakat, maka usulan ini akan dapat diwujudkan.
Post a Comment